Kebebasan, persamaan, keadilan dan kemanusiaan untuk menentukan nasib sendiri sebagai bangsa berdaulat merdeka

Senin, 05 Mei 2008

PENDAHULUAN

Usaha pembukuan 59 judul artikel tulisan saya, tidak lepas dari, saran kawan-kawan Aliansi Mahasiswa Papua Internasional (AMPI), di Jogja agar dibaca secara luas. Mengingat sasaran tulisan artikel dimana saya ingin persembahkan kepada mereka, tidak seluruh punya kesempatan akses halnya internet. Pada mulanya saya skeptis mengingat materi pembahasan tulisan tidak lebih sebagai “caci-maki”, kasar dan “vulgar”, bagi otoritas berwenang sebagai separatis yang menjurus disintegrasi daripada tulisan layak. Karena itu muatan isi kurang berkenan untuk mendapatkan restu dihati.

Walaupun ada alasan mengapa saya membahasakannya demikian? Disini bukan tempatnya membahas, mendengarkan alasan dibaliknya, mengapa dibahasakan demikian. “Disana” hanya pasal-pasal subversif, diam mendengarkan keputusan. Walaupun demikian biarlah artikel-artikel ini tetap diterbitkan. Sebab hal itu tidak lain, selain menunjukkan kepenatan pikiran penulis tatkala memperhatikan sikap pemerintah (Indonesia) dalam kebijakan menangani Papua tidak comprehenshif. Misalnya dalam kasus Otsus Papua, pemerintah Pusat, tidak memiliki ketulusan hati secara konsisten melakasanakanya.

Demikian juga Indonesia menjual Emas orang Papua di Timika kepada asing, yang kemudian memperpanjang masa kontraknya secara sepihak tanpa memperhatikan suara hati nurani orang Papua sendiri adalah jelas tindakan pencurian. Padahal untuk itu mahasiswa Papua di Abepura ditangkap, dianiaya, dibunuh, dipukul sampai mati di penjara oleh aparat keamanan RI (baca : TNI/POLRI). Sebahagian dikejar sampai kehutan hingga hari ini tidak pernah kembali alias terusir menyeberang ke Vanuatu, PNG dan Australia.

Tapi juga tidak lepas dari dua hal yaitu; Pertama, budaya tutur penulis langsung, tanpa aling-aling. Kedua, bertolak dari keberpihakan kebijakan yang tidak menguntung Papua sendiri selama ini, maka kepada siapa suara hati ingin didengar, dilihat, dirasa, adalah wajar tulisan ini menjadi demikian.

*** ***

Pembagian pembukuan tulisan artikel terdiri dari tiga bagian yaitu pertama, membahas tentang penegakan HAM dan Demokrasi dan permasalahannya di Papua Barat, sebagai refleksi pemikiran sederhana yang dapat segera dielaborasi dan usaha bagaimana penguatannya di Papua. Bagian kedua, Study Pembebasan Pemikiran, ketiga, Paradigma Baru Menuju Papua Merdeks dan keempat, Study Agama dan Budaya, sebagai sumbangan pemikiran bagi perjuangan pembebasan Papua dalam rangka kesiapan sikap dan mental orang Papua menghadapi perubahan.

Pembukuan tulisan artikel tidak lepas dari harapan agar tulisan dibaca secara agak luas, mengingat akses internet tidak semua orang, apalagi sasaran pembaca pemikiran saya mau ditujukan kepada mereka, tidak semuanya memiliki akses dan koneksi internet, maka kumpulan tulisan artikel diterbitkan yang hasilnya sebuah buku yang sekarang ada ditangan Anda.

Tujuan utama pembukuan bunga rampai dari kumpulan artikel ini dimaksudkan sebagai sumbangan pemikiran agar bagaimana penyelesaian konflik sosial politik di Papua dituntaskan secara bersama dan bermartabat sesuai nilai-nilai keadilan, kejujuran, kemanusiaan dalam penuh kedamaian. Pembukuan artikel tulisan juga tidak lepas dari saran dan masukan kawan-kawan mahasiswa Papua agar bermanfaat bagi kawan-kawan para aktifis gerakan perjuangan pembebasan Papua.

*** ***

Selama ini dari sudut pandang kebanyakan rakyat, terutama oleh 87% mayoritas penduduk pemeluk agama Islam dari 230 juta jiwa Indonesia, Papua daerah “ghorbi”, asing, yang identik dengan Kristen, TPN/OPM, separatisme, Gerakan Pengacau Keamanan (GPK), terbelakang, primitive dan stigma pejorative lain yang intinya daerah penuh gejolok perang, konflik kekerasan, dan akhirnya daerah Darul Harbi. Konsekuensi dari kesan-kesan mendahuluinya itu, bangsa West Papua, kurang mendapat perhatian dari “hati” Indonesia.

Seakan semua stigma diatas membenarkan orang berasumsi Papua adalah urutan prioritas terakhir dalam pilihan memperhatikannya secara jujur, adil dan bermartabat, sejak daerah ini di aneksasi -serahkan PBB kepada Indonesia untuk dikontrol melalui hasil Pepera tahun 1962. Hal ini juga misalnya terlihat dari sikap wakil rakyat latar belakang partai-partai Islam seperti PPP, PKS, PBB dan Islam nasionalis seperti PAN dan PKB. Partai Islam sering menunjukkan sikap apatisme kalau bukan malah ambivalent. Bahkan ormas-ormas da’wah Islam seperti Muhammadiyah, NU, MUI dan lain-lain belum pernah terlihat kontrubusi bagi penyelesaian soal Papua. Tapi malah, Papua dianggap kepentingan Barat Kristen tanpa mau melihatnya secara obyektif dari sudut pandang kebutuhan orang Papua.

Walaupun penganut agama Kristen Protestan mayoritas dikalangan penduduk asli di Utara, juga ada agama Katolik yang dominant di Selatan sekitar Merauke. Islam adalah agama pertama masuk dibumi Cenderawasih (J.R Mansoben, 2001), dan bagian dari populasi pendududuk 2 juta jiwa, tanpa diskriminatif “amber” dan penduduk asli. Sehingga tidak hanya 25% dari seluruh penduduk sebagaimana data BPS. Kalau di data tanpa kecuali, misalnya TNI/POLRI, tentara non organik, transmigrasi, urban mandiri, guru-guru, dan para pejabat pemerintah mengganggu, sudut pandang Papua. Maka sesungguhnya penduduk muslim Papua tidak kurang dari setengah juta jiwa.

Analisa kesimpulan demikian karena kurangnya perhatian kebanyakan penganut Islam dari 230 juta jiwa penduduk Indonesia. Padahal sejak lebih awal Islam sudah tumbuh dan berkembang di Papua. Penganut agama Islam sendiri terdiri dari penduduk Asli sejak abad ke 16, sebelum agama-agama besar lain datang diantar ke bumi Cenderawasih. Karena itu wajar bahwa masalah konflk sosial politik di Papua tidak mungkin tanpa melibatkan semua kelompok termasuk kelompok penganut agama Islam.

*** ***

Penyelesaian masalah politik Papua Barat secara adil, damai dan bermartabat, dan hak bereksistensi orang Papua di “dunia”-nya sepenuhnya dijamin konstitusi Indonesia: ”…kemerdekaan adalah hak segala bangsa, oleh sebab itu penjajahan dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan pri keadilan dan pri kemanusiaan…dst”, harus diakui secara jujur. Karena tidak bertentangan dengan Pancasila, UUD 45, juga konsep keadilan, musyawarah dalam agama Islam, agama anutan mayoritas penduduk Indonesia.

Oleh sebab itu harapan penulis dengan diterbitkannya buku ini, yang tadinya tulisan artikel yang selama ini penulis kirim dan tersebar diberbagai media eloktronik (internet) dan koran daerah, dikumpulkan sebagai bungai rampai, agar dibaca secara luas dan itu penting artinya bagi rakyat Papua umumnya dan Muslim Papua pada khususnya, karena penulis mewakili komunitas muslim dan buku ini merupakan buku paling pertama dari Muslim Papua dalam keberpihakannya dalam konflik sosial politik di Papua Barat.

Inti pesan yang sesungguhnya ingin disampaikan yaitu penyelesaian menyeluruh, konflik social politik di Papua Barat secara adil, damai dan bermartabat bagi hak bereksistensi orang Papua didunianya sendiri. Sebahagian tulisan lebih ditujukan sebagai pendampingan, penguatan, dan keberpihakan langsung penulis pada rakyat Papua Papua atas krisis identitas yang semakin termarginalkan, yang berpengaruh pada mentalitas teralienasi oleh akibat dominasi nilai lain baru yang menghegemoni.

*** ***

Selama ini sumbangan pemikiran dan keberpihakan muslim Papua, apalagi muslim secara keseluruhan mayoritas penduduk Indonesia dirasakan kurang dan miskin dalam hal menegakkan HAM dan demokrasi, dan usaha menciptakan Papua tanah damai, tanah perjanjian, kanaan, tanah harapan. Bahkan usaha sama jika dibandingkan dengan lembaga-lembaga milik Agama Kristen, misalnya Dewan Gereja Indonesia dan Internasional, aktifitas keberpihakannya terhadap penegekan HAM dan demokrasi di Papua Barat sangat terasa cukup intens, sebagai perwujudan kebenaran agamanya.

Ormas da’wah milik umat Islam Indonesia seperti MUI, NU, dan Muhammadiyah perannya tidak terlihat, walaupun harus digaris bawahi disini bahwa tujuan utama ormas Islam didirikan bukan untuk menegakkan HAM dan Demokrasi di Tanah Papua. Karena itu wajar kalau kemudian akibatnya lembaga milik Islam sama sekali tidak ada perannya untuk menyelesaikan konflik di Papua.

Tapi mengapa ada sikap ambivalensi beberapa ormas Islam radikal terhadap Papua (di Semarang dan Jogja, HTI dan FPI, pernah bakar bendera “Bintang Kejora” dan mengejar beberapa mahasiswa Papua, dengan ancaman bunuh dan usir dari daerah itu), harus ada kejelasan mengapa (?).

Bahkan sikap ormas-ormas Islam sebagaimana beberapa kali pernah dipertunjukkan misalnya oleh Hisbit Thahrir Indonesia (HTI) dan Front Pembela Islam (FPI), justeru sebaliknya, bukan sikap perwujudan kebenaran agamanya, malah membenarkan tuduhan selama ini, agama Islam adalah agama yang bertentangan dengan penegakan nilai-nilai hak asasi kemanusian manusia, proyek pembebasan, keadilan, kebenaran untuk ditegakkan secara bersama, dalam konteks Papua sebagai zona damai, tanah perjanjian, “tanah kanaan”.

Hal itu lebih bisa dibenarkan lagi, kalau Islam apalagi lembaga oramas-ormasnya selama ini tidak pernah ikut ambil peran, sebagaimana sesama saudara agama samawi lainnya, Agama Islam, sebagaimana terlihat dari ketiadaan peran lembaga ormas Da’wah Islam dan Muslim juga tidak terlihat perannya seperti Agama dam umat lain misalnya Kristen Protestan, dan Katolik. Ormas milik agama disebut dua terkahir, keberpihakannya dalam penegakan kebenaran dan keadilan dalam usaha menciptakan kedamaian tanah Papua begitu terasa sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan.

Mengapa tidak demikian dengan Islam? Ternyata jawabannya tidak sulit ditemukan, bukan Islamnya yang tidak memiliki pesan-pesan kedamaian, kebenaran dan keadilan. Tapi justeru sebaliknya, manusianya yang memeluk agama Islam kurang menyadari kalau kemudian agamanya memiliki sarat nilai keadilan, kebenaran dan kemanusiaan (rahamatan lil’alamin). Karena itu sebahagian orang, penganut agama lain, boleh jadi, menganggap bahwa Islam tidak menunjang bahkan bertolak belakang dengan nilai keadilan, kebenaran dan sebagai sebuah agama ditolak keberadaan kebenarannya.

Dengan demikian membuat orang lain diluar Islam, menjadi ragu dan menganggap Islam bukan dari sumber kebenaran, kebenaran Tuhan. Sehingga membenarkan asumsi keliru sebelum ini bahwa Islam sebagai “agama sesat”. Demikian kesan Islam selama ini bagi sebahagian orang bukan penganut Islam, bahkan misalnya Agama Islam identik dengan “terorisme” oleh Barat Kristen dan juga oleh orang Papua non muslim.

Padahal Islam selalu sarat dengan nilai moral dan keadilan. Tetapi mengapa para umatnya, penganut agama Islam, selama ini misalnya dalam penyelesaian konflik politik Papua Barat, tidak peduli, begitu apatis, terkesan mendorong penyelesaian masalah dengan cara kekerasan oleh pihak-pihak? Bahkan lebih parahnya lagi kalau kemudian orang Papua sampai pada kesimpulan, Islam dan muslim Indonesia tidak lain dari kekacauan itu sendiri?

*** ***

Islam sebagai Agama yang benar, dari sumber kebenaran yakni Allah SWT, Tuhan semesta alam. Harus membimbing moral (akhlaqul karimah), para pemeluknya untuk menunjukkan sikap kebenaran, keadilan dan kejujuran pada semua pihak. Apalagi Rasulullah, Muhammad SAW, sebagai Nabi terakhir (khotamunnabiyyin), mengaku bahwa dirinya diutus oleh Allah SWT datang ke dunia semata-mata hanya menyempurnakan moral (wama bu’istu liutammima makari mal akhlaq; Artinya : “Tidaklah aku diutus, kecuali untuk menyempurnakan akhlaq (moral))”; dan membebaskan umat manusia dari sikap, penjajahan, kedhaliman, kekafiran, kesesatan atas sesama umat manusia. Nabi Muhammad SAW, diutus oleh Allah SWT, datang kedunia untuk membebaskan (memerdekakan) umat manusia dan menciptakan kedamaian sebagaimana missi para nabi dan rosul lain yang masih sesama keluarga, satu nenek moyang, yakni keturunan Nabi Ibrahim dan agamanya disebut sebagai Abramic relegion, “millah” Ibrahim.

Karena itu disini, dalam kumpulan tulisan ini kami mencoba memberikan sumbangan pemikiran, pendampingan, sebatas keterbatasan kemampuan kami, mengingat tiadanya kontribusi pemikiran jalan penyelesaian banyak kasus pelanggaran HAM berat di Tanah Papua dan miskinnya keberpihakan kaum muslimin oleh lembaga-lembaga Islam. Sebagai akibatnya kesan selama ini lebih parahnya lagi, seakan terbenarkan, Muslim Papua, sikapnya pasif, misalnya dalam pelanggaran HAM berat yang seringkali membuat penat pikiran pemerintah Indonesia oleh ulah TPN/OPM atau oleh TNI/POLRI sesungguhnya, yang senantiasa tanpa kapan bisa pernah berakhir di Papua Barat.

Islam dan Muslim tidak sebagaimana lembaga milik Kristen Katolik dan Protestan, yang peduli, lembaga-lembaga Islam, kurang greget dalam usaha menyuarakan atas banyak pelanggaran HAM dan Demokrasi di Papua Barat. Untuk menghilangkan kesan itu maka tulisan ini di hadirkan sebagai sumbangan pemikiran oleh seorang muslim Papua dipersembahkan.

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Disini kami mencoba menampilkan experimentasi pemikiran sederhana guna memberi kontribusi atas berbagai masalah keislaman dan ke-Papua-an guna mencapai kemaslahan bersama atas berbagai masalah sosial politik. Penawaran pemikiran lebih pada perspektif islam, yakni; berdasarkan nilai-nilai utama yang terkandung dalam dan dari sumber Al-Qur'an dan Al-Hadis, dengan intrepretasi lebih bebas sesuai konteks sosial budaya Papua.

*** ***


DIMANA 20 Pebruari 2008

Abunawas

Tidak ada komentar: