Kebebasan, persamaan, keadilan dan kemanusiaan untuk menentukan nasib sendiri sebagai bangsa berdaulat merdeka

Senin, 05 Mei 2008

PENDAHULUAN

Usaha pembukuan 59 judul artikel tulisan saya, tidak lepas dari, saran kawan-kawan Aliansi Mahasiswa Papua Internasional (AMPI), di Jogja agar dibaca secara luas. Mengingat sasaran tulisan artikel dimana saya ingin persembahkan kepada mereka, tidak seluruh punya kesempatan akses halnya internet. Pada mulanya saya skeptis mengingat materi pembahasan tulisan tidak lebih sebagai “caci-maki”, kasar dan “vulgar”, bagi otoritas berwenang sebagai separatis yang menjurus disintegrasi daripada tulisan layak. Karena itu muatan isi kurang berkenan untuk mendapatkan restu dihati.

Walaupun ada alasan mengapa saya membahasakannya demikian? Disini bukan tempatnya membahas, mendengarkan alasan dibaliknya, mengapa dibahasakan demikian. “Disana” hanya pasal-pasal subversif, diam mendengarkan keputusan. Walaupun demikian biarlah artikel-artikel ini tetap diterbitkan. Sebab hal itu tidak lain, selain menunjukkan kepenatan pikiran penulis tatkala memperhatikan sikap pemerintah (Indonesia) dalam kebijakan menangani Papua tidak comprehenshif. Misalnya dalam kasus Otsus Papua, pemerintah Pusat, tidak memiliki ketulusan hati secara konsisten melakasanakanya.

Demikian juga Indonesia menjual Emas orang Papua di Timika kepada asing, yang kemudian memperpanjang masa kontraknya secara sepihak tanpa memperhatikan suara hati nurani orang Papua sendiri adalah jelas tindakan pencurian. Padahal untuk itu mahasiswa Papua di Abepura ditangkap, dianiaya, dibunuh, dipukul sampai mati di penjara oleh aparat keamanan RI (baca : TNI/POLRI). Sebahagian dikejar sampai kehutan hingga hari ini tidak pernah kembali alias terusir menyeberang ke Vanuatu, PNG dan Australia.

Tapi juga tidak lepas dari dua hal yaitu; Pertama, budaya tutur penulis langsung, tanpa aling-aling. Kedua, bertolak dari keberpihakan kebijakan yang tidak menguntung Papua sendiri selama ini, maka kepada siapa suara hati ingin didengar, dilihat, dirasa, adalah wajar tulisan ini menjadi demikian.

*** ***

Pembagian pembukuan tulisan artikel terdiri dari tiga bagian yaitu pertama, membahas tentang penegakan HAM dan Demokrasi dan permasalahannya di Papua Barat, sebagai refleksi pemikiran sederhana yang dapat segera dielaborasi dan usaha bagaimana penguatannya di Papua. Bagian kedua, Study Pembebasan Pemikiran, ketiga, Paradigma Baru Menuju Papua Merdeks dan keempat, Study Agama dan Budaya, sebagai sumbangan pemikiran bagi perjuangan pembebasan Papua dalam rangka kesiapan sikap dan mental orang Papua menghadapi perubahan.

Pembukuan tulisan artikel tidak lepas dari harapan agar tulisan dibaca secara agak luas, mengingat akses internet tidak semua orang, apalagi sasaran pembaca pemikiran saya mau ditujukan kepada mereka, tidak semuanya memiliki akses dan koneksi internet, maka kumpulan tulisan artikel diterbitkan yang hasilnya sebuah buku yang sekarang ada ditangan Anda.

Tujuan utama pembukuan bunga rampai dari kumpulan artikel ini dimaksudkan sebagai sumbangan pemikiran agar bagaimana penyelesaian konflik sosial politik di Papua dituntaskan secara bersama dan bermartabat sesuai nilai-nilai keadilan, kejujuran, kemanusiaan dalam penuh kedamaian. Pembukuan artikel tulisan juga tidak lepas dari saran dan masukan kawan-kawan mahasiswa Papua agar bermanfaat bagi kawan-kawan para aktifis gerakan perjuangan pembebasan Papua.

*** ***

Selama ini dari sudut pandang kebanyakan rakyat, terutama oleh 87% mayoritas penduduk pemeluk agama Islam dari 230 juta jiwa Indonesia, Papua daerah “ghorbi”, asing, yang identik dengan Kristen, TPN/OPM, separatisme, Gerakan Pengacau Keamanan (GPK), terbelakang, primitive dan stigma pejorative lain yang intinya daerah penuh gejolok perang, konflik kekerasan, dan akhirnya daerah Darul Harbi. Konsekuensi dari kesan-kesan mendahuluinya itu, bangsa West Papua, kurang mendapat perhatian dari “hati” Indonesia.

Seakan semua stigma diatas membenarkan orang berasumsi Papua adalah urutan prioritas terakhir dalam pilihan memperhatikannya secara jujur, adil dan bermartabat, sejak daerah ini di aneksasi -serahkan PBB kepada Indonesia untuk dikontrol melalui hasil Pepera tahun 1962. Hal ini juga misalnya terlihat dari sikap wakil rakyat latar belakang partai-partai Islam seperti PPP, PKS, PBB dan Islam nasionalis seperti PAN dan PKB. Partai Islam sering menunjukkan sikap apatisme kalau bukan malah ambivalent. Bahkan ormas-ormas da’wah Islam seperti Muhammadiyah, NU, MUI dan lain-lain belum pernah terlihat kontrubusi bagi penyelesaian soal Papua. Tapi malah, Papua dianggap kepentingan Barat Kristen tanpa mau melihatnya secara obyektif dari sudut pandang kebutuhan orang Papua.

Walaupun penganut agama Kristen Protestan mayoritas dikalangan penduduk asli di Utara, juga ada agama Katolik yang dominant di Selatan sekitar Merauke. Islam adalah agama pertama masuk dibumi Cenderawasih (J.R Mansoben, 2001), dan bagian dari populasi pendududuk 2 juta jiwa, tanpa diskriminatif “amber” dan penduduk asli. Sehingga tidak hanya 25% dari seluruh penduduk sebagaimana data BPS. Kalau di data tanpa kecuali, misalnya TNI/POLRI, tentara non organik, transmigrasi, urban mandiri, guru-guru, dan para pejabat pemerintah mengganggu, sudut pandang Papua. Maka sesungguhnya penduduk muslim Papua tidak kurang dari setengah juta jiwa.

Analisa kesimpulan demikian karena kurangnya perhatian kebanyakan penganut Islam dari 230 juta jiwa penduduk Indonesia. Padahal sejak lebih awal Islam sudah tumbuh dan berkembang di Papua. Penganut agama Islam sendiri terdiri dari penduduk Asli sejak abad ke 16, sebelum agama-agama besar lain datang diantar ke bumi Cenderawasih. Karena itu wajar bahwa masalah konflk sosial politik di Papua tidak mungkin tanpa melibatkan semua kelompok termasuk kelompok penganut agama Islam.

*** ***

Penyelesaian masalah politik Papua Barat secara adil, damai dan bermartabat, dan hak bereksistensi orang Papua di “dunia”-nya sepenuhnya dijamin konstitusi Indonesia: ”…kemerdekaan adalah hak segala bangsa, oleh sebab itu penjajahan dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan pri keadilan dan pri kemanusiaan…dst”, harus diakui secara jujur. Karena tidak bertentangan dengan Pancasila, UUD 45, juga konsep keadilan, musyawarah dalam agama Islam, agama anutan mayoritas penduduk Indonesia.

Oleh sebab itu harapan penulis dengan diterbitkannya buku ini, yang tadinya tulisan artikel yang selama ini penulis kirim dan tersebar diberbagai media eloktronik (internet) dan koran daerah, dikumpulkan sebagai bungai rampai, agar dibaca secara luas dan itu penting artinya bagi rakyat Papua umumnya dan Muslim Papua pada khususnya, karena penulis mewakili komunitas muslim dan buku ini merupakan buku paling pertama dari Muslim Papua dalam keberpihakannya dalam konflik sosial politik di Papua Barat.

Inti pesan yang sesungguhnya ingin disampaikan yaitu penyelesaian menyeluruh, konflik social politik di Papua Barat secara adil, damai dan bermartabat bagi hak bereksistensi orang Papua didunianya sendiri. Sebahagian tulisan lebih ditujukan sebagai pendampingan, penguatan, dan keberpihakan langsung penulis pada rakyat Papua Papua atas krisis identitas yang semakin termarginalkan, yang berpengaruh pada mentalitas teralienasi oleh akibat dominasi nilai lain baru yang menghegemoni.

*** ***

Selama ini sumbangan pemikiran dan keberpihakan muslim Papua, apalagi muslim secara keseluruhan mayoritas penduduk Indonesia dirasakan kurang dan miskin dalam hal menegakkan HAM dan demokrasi, dan usaha menciptakan Papua tanah damai, tanah perjanjian, kanaan, tanah harapan. Bahkan usaha sama jika dibandingkan dengan lembaga-lembaga milik Agama Kristen, misalnya Dewan Gereja Indonesia dan Internasional, aktifitas keberpihakannya terhadap penegekan HAM dan demokrasi di Papua Barat sangat terasa cukup intens, sebagai perwujudan kebenaran agamanya.

Ormas da’wah milik umat Islam Indonesia seperti MUI, NU, dan Muhammadiyah perannya tidak terlihat, walaupun harus digaris bawahi disini bahwa tujuan utama ormas Islam didirikan bukan untuk menegakkan HAM dan Demokrasi di Tanah Papua. Karena itu wajar kalau kemudian akibatnya lembaga milik Islam sama sekali tidak ada perannya untuk menyelesaikan konflik di Papua.

Tapi mengapa ada sikap ambivalensi beberapa ormas Islam radikal terhadap Papua (di Semarang dan Jogja, HTI dan FPI, pernah bakar bendera “Bintang Kejora” dan mengejar beberapa mahasiswa Papua, dengan ancaman bunuh dan usir dari daerah itu), harus ada kejelasan mengapa (?).

Bahkan sikap ormas-ormas Islam sebagaimana beberapa kali pernah dipertunjukkan misalnya oleh Hisbit Thahrir Indonesia (HTI) dan Front Pembela Islam (FPI), justeru sebaliknya, bukan sikap perwujudan kebenaran agamanya, malah membenarkan tuduhan selama ini, agama Islam adalah agama yang bertentangan dengan penegakan nilai-nilai hak asasi kemanusian manusia, proyek pembebasan, keadilan, kebenaran untuk ditegakkan secara bersama, dalam konteks Papua sebagai zona damai, tanah perjanjian, “tanah kanaan”.

Hal itu lebih bisa dibenarkan lagi, kalau Islam apalagi lembaga oramas-ormasnya selama ini tidak pernah ikut ambil peran, sebagaimana sesama saudara agama samawi lainnya, Agama Islam, sebagaimana terlihat dari ketiadaan peran lembaga ormas Da’wah Islam dan Muslim juga tidak terlihat perannya seperti Agama dam umat lain misalnya Kristen Protestan, dan Katolik. Ormas milik agama disebut dua terkahir, keberpihakannya dalam penegakan kebenaran dan keadilan dalam usaha menciptakan kedamaian tanah Papua begitu terasa sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan.

Mengapa tidak demikian dengan Islam? Ternyata jawabannya tidak sulit ditemukan, bukan Islamnya yang tidak memiliki pesan-pesan kedamaian, kebenaran dan keadilan. Tapi justeru sebaliknya, manusianya yang memeluk agama Islam kurang menyadari kalau kemudian agamanya memiliki sarat nilai keadilan, kebenaran dan kemanusiaan (rahamatan lil’alamin). Karena itu sebahagian orang, penganut agama lain, boleh jadi, menganggap bahwa Islam tidak menunjang bahkan bertolak belakang dengan nilai keadilan, kebenaran dan sebagai sebuah agama ditolak keberadaan kebenarannya.

Dengan demikian membuat orang lain diluar Islam, menjadi ragu dan menganggap Islam bukan dari sumber kebenaran, kebenaran Tuhan. Sehingga membenarkan asumsi keliru sebelum ini bahwa Islam sebagai “agama sesat”. Demikian kesan Islam selama ini bagi sebahagian orang bukan penganut Islam, bahkan misalnya Agama Islam identik dengan “terorisme” oleh Barat Kristen dan juga oleh orang Papua non muslim.

Padahal Islam selalu sarat dengan nilai moral dan keadilan. Tetapi mengapa para umatnya, penganut agama Islam, selama ini misalnya dalam penyelesaian konflik politik Papua Barat, tidak peduli, begitu apatis, terkesan mendorong penyelesaian masalah dengan cara kekerasan oleh pihak-pihak? Bahkan lebih parahnya lagi kalau kemudian orang Papua sampai pada kesimpulan, Islam dan muslim Indonesia tidak lain dari kekacauan itu sendiri?

*** ***

Islam sebagai Agama yang benar, dari sumber kebenaran yakni Allah SWT, Tuhan semesta alam. Harus membimbing moral (akhlaqul karimah), para pemeluknya untuk menunjukkan sikap kebenaran, keadilan dan kejujuran pada semua pihak. Apalagi Rasulullah, Muhammad SAW, sebagai Nabi terakhir (khotamunnabiyyin), mengaku bahwa dirinya diutus oleh Allah SWT datang ke dunia semata-mata hanya menyempurnakan moral (wama bu’istu liutammima makari mal akhlaq; Artinya : “Tidaklah aku diutus, kecuali untuk menyempurnakan akhlaq (moral))”; dan membebaskan umat manusia dari sikap, penjajahan, kedhaliman, kekafiran, kesesatan atas sesama umat manusia. Nabi Muhammad SAW, diutus oleh Allah SWT, datang kedunia untuk membebaskan (memerdekakan) umat manusia dan menciptakan kedamaian sebagaimana missi para nabi dan rosul lain yang masih sesama keluarga, satu nenek moyang, yakni keturunan Nabi Ibrahim dan agamanya disebut sebagai Abramic relegion, “millah” Ibrahim.

Karena itu disini, dalam kumpulan tulisan ini kami mencoba memberikan sumbangan pemikiran, pendampingan, sebatas keterbatasan kemampuan kami, mengingat tiadanya kontribusi pemikiran jalan penyelesaian banyak kasus pelanggaran HAM berat di Tanah Papua dan miskinnya keberpihakan kaum muslimin oleh lembaga-lembaga Islam. Sebagai akibatnya kesan selama ini lebih parahnya lagi, seakan terbenarkan, Muslim Papua, sikapnya pasif, misalnya dalam pelanggaran HAM berat yang seringkali membuat penat pikiran pemerintah Indonesia oleh ulah TPN/OPM atau oleh TNI/POLRI sesungguhnya, yang senantiasa tanpa kapan bisa pernah berakhir di Papua Barat.

Islam dan Muslim tidak sebagaimana lembaga milik Kristen Katolik dan Protestan, yang peduli, lembaga-lembaga Islam, kurang greget dalam usaha menyuarakan atas banyak pelanggaran HAM dan Demokrasi di Papua Barat. Untuk menghilangkan kesan itu maka tulisan ini di hadirkan sebagai sumbangan pemikiran oleh seorang muslim Papua dipersembahkan.

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Disini kami mencoba menampilkan experimentasi pemikiran sederhana guna memberi kontribusi atas berbagai masalah keislaman dan ke-Papua-an guna mencapai kemaslahan bersama atas berbagai masalah sosial politik. Penawaran pemikiran lebih pada perspektif islam, yakni; berdasarkan nilai-nilai utama yang terkandung dalam dan dari sumber Al-Qur'an dan Al-Hadis, dengan intrepretasi lebih bebas sesuai konteks sosial budaya Papua.

*** ***


DIMANA 20 Pebruari 2008

Abunawas

BUDAYA BALIM JAYAWI JAYA

A. Sekilas Budaya Lembah Palim Selatan

1. Geografis, Iklim dan Penduduk

Luas wilayah Papua 416.000 km2 atau tiga kali setengah Pulau Jawa. Propinsi yang amat luas ini hanya dihuni 2.013.620 juta jiwa penduduk. Dengan tingkat kepadatan penduduk terjarang di Indonesia , yaitu kurang lebih 4 jiwa, perkilo meter persegi. (BPS, Propinsi Papua, 2007).

Kabupaten Jayawi Jaya berpenduduk 400130 jiwa dengan tingkat kepadatan 8,20 jiwa perkilo meter persegi. Secara geografis Kabupaten Jayawijaya terletak antara 30.20 sampai 50.20' Lintang Selatan serta 1370.19' sampai 141 Bujur Timur. Batas Jayawijaya sebelah Utara dengan Kabupaten Jayapura dan Kabupaten Yapen Waropen, Barat dengan Kabupaten Paniai, Selatan dengan Kabupaten Merauke dan Timur dengan perbatasan negara Papua New Guinea. (BPS, Propinsi Papua, 2007).

Jayawi Jaya terletak di Pegunungan Tengah Papua. Ibukota Kabupaten Wamena. Jayawi Jaya dimekarkan empat Kabupaten baru yakni : Kabupaten Yahukimo, Kabupaten Tolikara, Kabupaten Punjak Jaya, dan Kabupaten Pegunungan Bintang.

Jayawi Jaya beriklim tropic basah, hal ini dipengaruhi oleh letak ketinggian di permukaan laut dengan temperatur udara bervariasi antara 80-200 celcius dengan suhu rata-rata 17,50 celcius dengan hari hujan 152,42 hari pertahun tingkat kelembaban diatas 80%, angin berhembus sepanjang tahun dengan kecepatan rata-rata tertinggi 14 knot dan terendah 2,5 knot.

Topografi Jayawi Jaya terdiri dari gunung-gunung yang tinggi dan lembah-lembah yang luas. Diantara puncak-puncak gunung yang ada beberapa diantaranya selalu tertutup salju misalnya Pucak Trikora 4750 m, Puncak Yamin 4595m dan Puncak Mandala 4760m. Tanah pada umumnya terdiri dari batu kapur/gamping dan granit terdapat di daerah pegunungan sedangkan di sekeliling lembah merupakan percampuran antara endapan Lumpur, tanah liat dan lempung.

2. Tempat Tinggal dan Mata Pencaharian

Rumah bertempat tinggal Suku Dani di sekitar pinggir sungai Palim dan di lereng-lereng bukit lembah besar Palim/Balim. Pemukiman penduduk biasanya di sekitar anak sungai dari berbagai arah yang bermuara ke Sungai besar Balim. Pekarangan rumah tempat tinggal Suku Dani di Lembah Baliem dinamakan Osilimo, yang terdiri dari Honai, Eweai dan Leseai.

Osili/Osilimo terdiri dari beberapa unit rumah, lese, (berbentuk segi empat panjang, paling sedikit 2 sampai 5 rumah lese), Honai Adat, (khusus laki-laki, biasanya tersimpan benda-benda keramat suku rumah) dan Eweai (rumah tempat tidur khusus perempuan). Osili berdiam beberapa kerabat kepala keluarga. Ada juga hanya dua Lese dan satu Honai. Dalam satu Lese kadang-kadang bisa tinggal dua kelapa keluarga.

Umumnya rumah tempat tinggal di Balim dikelilingi oleh pagar dari batu atau dari kayu. Honai dan Eweai bentuknya bulat tanpa ada ventilasi udara, untuk menghindari udara dingin. Pada sore sampai menjelang malam didalam honai kaum pria buat api agar tetap hangat. Didalam Honai ada para-para untuk tempat tidur kaum pria bersama. Rumah tidur kaum laki-laki dan wanita terpisah. Honai pria Balim tersimpan benda-benda keramat seperti, hareken, tugi mugu, yang biasa di simpan dalam lemari (kakok), yang dalam tradisi pantangan dimasuki kaum wanita Balim.

Honai digunakan rapat-rapat kaum pria dalam berbagai masalah terutama membicarakan strategi perang suku antar confederation (perang suku kini sudah dilarang oleh pemerintah Indonesia). Berbeda dengan Honai, rumah dengan bentuk sama tapi ukuran agak kecil khusus kaum wanita Balim namanya Eweai. Disamping itu ada rumah tempat berkumpul keluarga yaitu Lesema.

Lesema atau Lese bentuknya empat persegi panjang, kadangkala bersambung langsung dengan rumah khusus wanita Balim (Eweai). Bagian sebelahnya terdapat kandang babi. Lesema biasanya difungsikan sebagai tempat berkumpul keluarga, menerima tamu keluarga dan ruang makan bersama. Didalam rumah Honai dan Eweai pada sore menjelang malam selalu dibuat api agar tetap hangat.

Orang Wamena kini sudah banyak yang mengenakan pakaian, tapi pada masa lalu busana mereka adalah Holim bagi pria dan Yokal dan Sili bagi kaum wanita Palim. Holim biasa orang namakan juga dengan sebutan Koteka. Koteka dibuat dari jenis labu yang dikeringkan dan dibolongi sebagai alat penutup aurat pria. Yokal adalah anyaman dari kulit kayu yang dipintal kaum wanita.

Yokal, biasanya dikenakan bagi wanita yang sudah menikah, sedangkan bagi gadis-gadis Balim pakaian roknya disebut Kemsili. Ciri seorang wanita Balim Selatan sudah menikah atau belum ditentukan dari busan penutup aurat. Jika sudah menikah maka wanita Balim biasanya mengenakan Yokal, tapi kalau masih gadis mengenakan Sili/Kemsili.

Orang Palim pada umumnya bermata pencaharian sehari-hari bercocok tanam atau petani ladang. Hal ini dimungkinkan karena alamnya cukup subur. Usaha pertanian subsistem di usahakan secara tardisional untuk konsumsi mereka sehari-hari, sehingga tidak menolong banyak untuk meningkatkan taraf hidupnya. Kebun-kebun mereka yang tidak hanya dibuat di Lembah Balim melainkan juga di daerah-daerah yang tinggi di lereng-lereng gunung yang curam, terurus baik.

Tanaman utama mereka adalah Ubi jalar (Hopuru). Mereka juga menanam Keladi (Hom), Tebu (El) dan Pisang (Haki), dan mereka juga menanam berbagai jenis sayur mayur secara tumpang sari, misalnya; Jagung, Kedele, Buncis, Kol, Bayam dan lain-lain, sebagai tanaman baru yang diperkenalkan oleh para pendatang.

Menurut Koentjaraningrat (1993), tanaman yang terpenting adalah Ubi atau Hom (Discorea esculania), tebu atau El (Sacharum officinarum), dan sebanyak kurang lebih 17 jenis tanaman lain, berikut varietas-varietasnya. Mereka mengenal sebanyak 50 varietas ubi (Versteegh, 1961), yang masing-masing dipetik pada waktu-waktu berlainan sepanjang tahun. Pengangkutan hasil kebun kerumah dilakukan oleh para wanita.

Orang Dani juga mengenal sedikit irigasi, dan kebun-kebun mereka seringkali tampak dikelilingi dan dipotong-potong oleh parit-parit kecil, yang mereka buat dengan menggunakan kapak, tongkat tugal, atau dengan mengeruk tanahnya dengan tangan saja.

Cara bercocok tanam orang Balim adalah berpindah-pindah. Tanah digarap selama beberapa musim tanam, dan apabila tanah itu telah ‘lelah’ karena kehabisan zat-zatnya, tanah itu ditinggalkan. Kemudian di buka sebidang tanah yang baru. Tanah yang telah ditinggalkan itu kemudian memperoleh kesempatanuntuk menjadi subur kembali.

Disamping bercocok tanam berpindah-pindah (secara teratur), orang Dani juga (banyak) memelihara babi. Binatang ini dapat dimiliki secara pribadi oleh pria maupun Wanita, tetapi yang biasanya memelihara (menggembala) babi adalah wanita dan anak-anak. Pada waktu senja (menjelang malam) babi diberi makan ubi, tetapi sepanjang hari sampai sore binatang-binatang itu dibiarkan berkeliaran di desa atau dikebun untuk mencari makannya sendiri. Babi jantan biasanya di kebiri agar tumbuh menjadi besar, dan hanya sedikit saja yang dipelihara untuk pejantan (sic).

Orang Dani umumnya mengkonsumsi daging babi pada waktu mengadakan pesta, seperti pesta berkenaan dengan upacara-upacara sepanjang daur hidup individu (kelahiran, inisiasi, perkawinan dan sebagainya), pembakaran jenazah, dan pada pesta-pesta babi.

Selain sebagai bahan pangan, babi juga dimiliki untuk menambah gengsi. Orang-orang yang mempunyai kedudukan penting atau orang berpengaruh tentu memiliki banyak babi. Babi juga merupakan barang berharga untuk leperluan-keperluan yang bersifat ekonomi dan sosial , dan dapat dipakai untuk membalas jasa, meredakan permusuhan (dalam perang suku), tetapi juga sebagai unsur (penting) mas kawin (dalam adat perkawinan).

Pada musim panen ubi, pria Balim Selatan mengurus secara baik kebun kelapa hutan mereka yang disebut Kain. Kain adalah tumbuhan sejenis pohon pandan yang hanya tumbuh di pegunungan diatas ketinggian 3000-4000 dpl. Jenis pohon ini sama halnya dengan pohon Sap/Buah Merah, Wamena, diurus baik oleh kaum pria Balim.

Disamping Kain, tanaman utama dalam kebun orang Balim Selatan adalah Weramo dan Tuke. Weramo biasanya tumbuh liar di hutan tapi tetap dirawat dengan batas-batas kepemilikan secara jelas dan tegas bagi penduduk. Demikian juga dengan Tuke, yang lokasi tumbuhnya dekat dibawah salju abadi diatas ketinggian 4000 kaki dpl.

Pria Balim selatan dalam musim kemarau juga sering berburu sebagai pekerjaan sampingan. Biasanya orang Balim Selatan berburu berbagai jenis burung dan kukus, seperti kus-kus pohon, kangguru pohon, burung kasuari dan lain-lain.

Pada masa kini banyak juga orang Palim yang bekerja berbagai jawatan profesi. UU Otonomi Khusus No 21 tahun 1999, memungkinkan orang Palim/Balim bekerja di berbagai jawatan profesi misalnya pegawai negeri, TNI/POLRI, guru dan lain-lain.

3. Nama dan Bahasa

Kris Manning dan Ross Garnaut (1979:9) bahwa daerah pedalaman Papua mulai didiami manusia lebih dari pada 25.00 tahun yang lalu. Penghuni Lembah Baliem yang menurut kata orang di zaman dahulu kala merupakan danau yang sangat luas.

Perkampungan yang pertama kali diketahui di Lembah Baliem diperkirakan sekitar ratusan tahun yang lalu. Banyak explorasi di dataran tinggi pedalaman Papua yang dilakukan. Salah satu diantaranya yang pertama adalah Expedisi Lorentz pada tahun 1909-1910 ( Netherlands ), tetapi mereka tidak beroperasi di Lembah Baliem.

Memang, sebelum kedatangan orang, Suku Dani Balim dari daerah-daerah lain sejak tahun 1909 sudah pernah berhubungan dengan orang-orang dari dunia luar, yaitu dengan kedatangan expedisi militer Belanda kedarah Hulu sungai Lorentz. Orang Dani dari Lemabah Swart bahkan telah berhubungan lebih intensif dengan adanya expedisi ilmiyah pimpinan J. A. G. Kremer didaerah itu dalam perjalanannya ke Puncak Trikora dalam tahun 1920 dan 1921, dan dengan kedatangan expedisi ilmiyah Sterling dalam tahun 1926. Adapun penduduk Lembah Besar Balim baru melihat orang asing ketika expedisi ilmiah R. Archbold melintasi lembah itu dari arah utara ke arah selatan, ditempat Wamena sekarang.

Richard Archold anggota timnya adalah orang pertama yang mengadakan kontak pada tahun 1935 dengan penduduk asli yang belum pernah mengadakan kontak dengan negara lain sebelumnya. Pengaruh Eropa dibawa ke para Missionaris yang membangun pusat Missi Protestan di Hetegima sekitar tahun 1957. Kemudian setelah Bangsa Belanda mendirikan kota Wamena maka agama Katholik mulai berdatangan.

Orang Jayawijaya di Lembah Balim dan sekitarnya tidak menyebut dirinya sebagai Suku Dani. Nama ‘Dani’ atau ‘Ndani’ sendiri tidak mereka sukai, baik di sebelah barat maupun di sebelah timur kabupaten.

Penduduk Jayawi Jaya sebagai satu kesatuan manusia, menyebut nama asal dirinya dengan nama perkampungannya atau kadang-kadang dengan nama dari gabungan perkampungan-perkampungan tempat tinggalnya. Orang Balim tidak mengindetitaskan diri sebagai suku etnis Ndani/Dani, tetapi menyebut diri ‘nit apuni Palim Meke’/kami orang Palim yang mengandung makna ’manusia sejati dan asli’.

Penduduk Lembah Besar Balim serta dilembah-lembah lain disekitarnya dalam laporan-laporan atau tulisan-tulisan yang terbit sebelum perang dunia ke II kadang-kadang dikenal dengan nama Pesegem, Timorini, Morip, Uringup dan lain-lain.

Beberapa orang yang berpandangan lebih luas menyebut dirinya: Nit Apuni Palima Meke, yang artinya ‘kami manusia Balim’. Adapun nama sekarang yang lazim di pakai pemerintah untuk menyebut seluruh penduduk Lembah Besar Balim adalah Dani, yang juga merupakan nama sebuah klen. Lembah-lembah yang berada dibagian barat, Dani juga merupakan dari nama bahasa mereka. Demikian juga orang Moni menyebut Ndani atau Lani (sic).

Biasanya Suku Dani akan menyebut asal dirinya dari nama-nama sungai yang mengaliri disekitar rumah tempat tinggalnya, misalnya : Palima/Balima berasal dari nama sungai Palim/Balim, Pelewaga berasal dari nama sungai Peleima, Uelesi/Walesi dari nama sungai Uweima, Hepuba berasal dari nama sungai Hepuima dan Hitigima dari nama hitigima.

H. Myron Bromley (1994), seorang Missinaris Kristen juga ahli bahasa yang telah lama melakukan penelitian di Papua sejak bulan April 1957, menyatakan bahwa: “Propinsi Irian Jaya terkaya akan kebudayaan dan bahasa yang berbeda karena memiliki kurang lebih 250 bahasa, yang merupakan jumlah yang lebih dari sepertiga dari bahasa di Indonesia”.

Bahasa daerah di Kabupaten Jayawi Jaya cukup banyak penuturnya dan dapat digolongkan menjadi tiga rumpun bahasa, sebagai berikut :

a. Rumpun bahasa Ok (ada juga di Papua Nugini) bahasa Ngalum di Oksibil dan Kiwirok sekitarnya, dengan kira-kira 10.000 penutur.
b. Rumpun bahasa Mek ( belum jelas bagaimana bahasa tersebut)
c. Rumpun bahasa Balim
Sub-Rumpun Baliem Pusat dalam penggolongan rumpun bahasa yakni :
1). Sub Rumpun Yali-Ngalik.
2). Sub-Rumpun Baliem Pusat
3). Sub Rumpun Wano
Perbedaan fonemik dari logat-logat bahasa Dani ini diteliti, H.M.Bromley. Berdasarkan analisanya itu (1961) ada sembilan buah logat, yaitu :
a). Logat Dani Induk didaerah didaerah Lembah Baliem Hulu.
b). Logat Dani Bagian Barat di Lembah Ilaga, Sinak, Swart dan Hablifuri Hulu.
c). Logat Dani Wolo di sekitar sungai Wolo di lereng Gunung Piramid.
d). Logat Dani Kimbim disekitar sungai Kimbim dan Wosi.
e). Logat Dani Ibele sekitar sungai Bele.
f). Logat Dani Aikhe sekitar sungai Aikhe.
g). Logat Dani dari daerah Wamena dan sekitar sungai Uwe hingga kira-kira sungui
Mugi.
h). Logat Dani Jurang didaerah yang menyempit dilembah sungai Baliem,tempat sungai itu terjun kedalam sungai Vriendschap.
i). Logat Dani Hablifuri di daerah Hablifuri
Dialek Lembah Agung Selatan, dari sebelah Selatan Wamena sampai Lembah Samenage di Pasema dan Lembah Wet, Walesi, Walaik, Hetigima, Hepuba, Maima, Seima, Kurima, Tangma, Heageima, kira-kira 20.000 penutur.

4. Organisasi Sosial dan Kepemimpinan

Orang Balim harus hidup dalam relasi serasi dengan sesama, alam sekitar dan leluhur. Manusia dengan keseluruhan kosmosnya saling berintegrasi, saling menghidupi. Manusia dengan alam sekitarnya dan denga leluhur dipandang sebagai satu keseluruhan yang saling menghidupi dan bersifat rohani serta jasmani. Manusia merupakan bagian dari alam, saudara semua makhluk sehingga ia dapat menemukan tempat yang sesungguhnya didunianya. Dengan demikian hidupnya baru berarti jika ia berada dengan sesama leluhurnya dan alam sekitar.

Sistem relasi antara sesama manusia berfungsi menuruti dua prinsip utama, yakni :

1). Prinsip garis keturunan secara biologis atau geneologis;
2). Menurut prinsip organisasi sosial

Namun relasi dapat diperluas secara tak terbatas sampai ada relasi suku atau belahan/paroh/moiety/suku. Hal ini di sebabkan karena setiap anggota masyarakat menyatakan keanggotaannya sesuai pengalaman kenyataan hidup dimana ia menjadi anggota suatu kelompok.

Masyarakat Baliem Selatan dari masing-masing perkampungan adalah suatu gugusan desa-desa atau kesatuan wilayah dengan pola kekerabatan menjadi terikat satu sama lain dan membedakan diri satu sama lain berdasarkan masing-masing gugusan kelompok tempat tinggalnya. Masing-masing kelompok terdiri dari dua moety (belahan) yang diatur dalam pola perkawinan secara teratur.

Dua belahan moety adalah memungkinkan kedua bela pihak saling melindungi, menghidupi dan berkembang dalam pola perkawinan yang teratur bersifat patriarki. Hal ini diungkapkan dalam ungkapan sehari-hari dalam sapaan diantara mereka seperti : Nahgosa “mamaku”, neak, “anakku". Ungkapan demikian ini diucapkan sesama lelaki yang artinya mamaku, anakku yang adalah sapaan umum terhadap perempuan. Makna ungkapan seperti ini mengandaikan; tanpamu aku tiada, dan akupun tiada tanpamu atau tanpaku engkau tiada. Engkau penyebab keberadaanku. Suatu pola hubungan kekerabatan yang erat dan saling menghidupi, bagi keberlangsungan etnisitas mereka.

Demikian pula lambang lingkaran (termasuk honai yang bulat) dan bahkan pembentukan konsensus maupun pernyataan konsensus yang dinyatakan dalam posisi duduk atau menari dalam bentuk lingkaran, menyatakan keinginan mempertahankan kebersamaan sosial mereka, dengan contoh menjelaskan sikap kekeluargaan dan kebersamaan serta kesetiakawanan sosial yang sangat mereka junjung tinggi.

Mungkin kesetiakawanan soaial ini merupakan hasil rekayasa sosial beberapa ribu tahun yang lalu, waktu prajurit Wita yang hanya berpanah dan bertombak serta hidup dari perang, bertemu dengan manusia petani Waya di Maima. Pertemuan ini merupakan awal dari suatu hidup sosial bari Wita-Waya sebagai dua belahan/moiety dengan pelarangan pernikahan intern belahan/moiety dari apa yang kini menyebut diri suku atau orang Balim…(sic).

Relasi belahan/Moiety disebut Wita dan Waya serta merupakan relasi yang cukup luas. Klen suku dalam masyarakat Balim terbagi dalam kedua belahan Wita-Waya tersebut. Misalnya belahan Wita terdiri dari suku Asso, Lagowan, Kosay, Wuka, Lani, Wetipo, Marian, Mulait, Kuresi. Belahan Waya terdiri dari suku: Lokobal, Matuan , Heiman, Huby, Hilapok, Wetapo, Sorabut, Hisage, Doga, Hurukalek.

Relasi antara kedua belahan lebih tampak dalam perkawinan eksogami dan larangan perkawinan intern klen dari belahan sama. Relasi belahan tampak juga dalam penyelenggaraan ritual dan pesta ewe ako/ mawe/ pesta babi sebagai punjak perayaan dalam kehidupan orang Balim.

4.1. Keluarga Luas Verilokal

Kelompok kekerabatan yang terkecil dalam masyarakat orang Dani adalah suatu kelompok virilokal. Karena poligini banyak dilakukan, (Ukumearik Asso, Kepala Suku Besar, pernah memperisteri 50 wanita dalam hidupnya) dan karena (umumnya) seorang pria sering beristerikan 4-5 orang (wanita), maka keluarga-keluarga luas orang Dani tak jarang benar-benar ‘luas’.

4.2. Klen Kecil

Dalam tipologi Koentjaraningrat (1994), yang dimaksud dengan klen kecil adalah kelompok kekerabatan yang lebih besar daripada keluarga luas adalah kelompok yang menganggap dirinya seketurunan seorang nenek moyang yang jaraknya kurang lebih 4-5 angkatan keatas. Nama nenek moyang itu biasanya masih diingat, dan warga kelompok biasanya masih mengenal atau mengetahui semua keturunan nenek moyang itu, baik yang hidup maupun yang sidah meninggal.

Orang Dani menyebut kelompok kekerabatan seperti itu Nyukuloak, (yang arti sebenarnya adalah ‘kepala’, ‘hulu, ‘asal’), dan istilah ilmiahnya adalah ‘klen kecil’. Suatu kelompok seperti itu biasanya tersebar di dalam beberapa perkampungan, tetapi terbatas pada suatu daerah tertentu. Dalam tradisi Suku Dani Balim, agaknya kelompok kekerabatan klan ini yang terpenting dan paling utama.

4.3. Klen Besar

Kelompok kerabat yang lebih besar daripada klen kecil adalah klen besar (Nyukuluak). Nenek moyang mereka sudah tidak dikenal lagi, karena jaraknya sudah terlampau jauh. Para warga kelompok kekerabatan klen besar hanya mengetahui bahwa mereka adalah warga Nyukuluak tertentu, karena adat dan kewargaannya juga diperolehnya secara patrilineal.

Jumlah warga klen besar orang Dani kadang-kadang beratus-ratus, bahkan beberapa ribu jiwa, yang tinggal tersebar di daerah yang lebh luas daripada daerah klen kecil, sehingga para warganya seringkali sudah tidak saling mengenal. Menurut laporan H. L. Peters (1965), klen-klen orang Dani tidak menampakkan ciri-ciri totemisme, yaitu adat untuk berjatidiri dengan lambang binatang atau tumbuh-tumbuhan, walaupun dalam laporan Wirz mengenai penduduk Lembah Swart adat itu ada.

Namun sesungguhnya totemisme itu tetap ada di Lembah Balim Selatan. Dalam clan, adat bahwa marga tertentu dengan lambang hewan atau burung dan tumbuhan tertentu sebagai bagian yang tak terpisahkan, bahkan mereka menganggap bahwa hewan tertentu adalah seketurunan, karena itu pantangan memakannya atau sekedar membunuh.

4.4. Paroh Masyarakat

Akhirnya perlu kita sebutkan disini suatu bentuk kelompok kekerabatan orang Dani yang lebih besar lagi, yaitu kesatuan sosial yang terdiri dari gabungan berbagai clan, yang dalam bahasa Dani disebut Nyukuluak Ewe, yaitu Wita dan Waya (sic).

Dalam perhitungan Koentjaraningrat (1994), diseluruh Lembah Balim ada dari dua Ewe Nyukuluak Wita dan Waya. Dalam Wita 23 dan Waya 26 buah klen. Namun perhitungan ini belum menunjukkan keseluruhan penduduk Lembah Balim yang kenyataannnya sangat banyak dalam keanggotaan Nyukuluak Ewe, sehingga jumlahnya lebih banyak dari perhitungan ini.

Orang Balim cenderung menganggap sesama mereka memiliki derajat dan martabat yang sama. Pandangan demikian mempengaruhi penilaiannya terhadap orang yang datang dari luar kelompok mereka. Orang Balim tidak membuat klasifikasi ataupun stratifikasi sosial ataupun menjadikan stratifikasi pemimpin mereka.

Budaya Orang Dani, Baliem Selatan adalah suatu budaya yang berorientasi pada masa lalu. Orang Dani, Baliem Selatan senantiasa, dan selalu ingin mewujudkan masa lalu nenek moyang pada masa kekiniannya adalah suatu usaha senantiasa dan terus-menerus tanpa henti.

Manusia Baliem Selatan memandang dirinya adalah manusia sejati (superior). Masing-masing klen menganggap dirinyalah yang asli tanpa memandang selainnya inferior (rendah). Karena itu Orang Dani Baliem Selatan tidak ada sikap ketundukan ataupun membudak pada orang lain selain dirinya.

Dr. H.L. Peters yang menulis disertasinya mengenai kebudayaan Balim berjudul “Some observation of the social and religious life of a Dani-Group” (1975) dalam salah satu kunjungan selama enam bulan di Balim, berkesan bahwa:

“biasanya orang Balim mengurus hidupnya sendiri dengan baik dalam bermacam-macam situasi. Mereka menyelenggarakan pesta-pesta raya dan menjamu ratusan tamu secara tertib. Penampilan asli orang Balim pada umumnya menunjukkan bahwa mereka tahu harga diri. Dalam cara hidup mereka tidak tampak sikap membudak atau menundukkan kepala kepada orang lain atau siapapun juga. Mereka lebih sering mengambil inisiatif sendiri dan tidak mengenal struktur-struktur yang ditata rapi dan harus menantikan perintah dari atas”.

Seorang Kepala Suku adalah orang yang berani dalam memimpin pertempuran perang suku dan mampu memimpin warganya dalam keadaan sulit.Sehingga kepemimpinannya adalah hasil prestasi sendiri. Seorang kepala suku sebagai pemimpin bukan karena warisan. Karena itu seorang Pemimpin Suku Dani Baliem Selatan, sebagai kepala suku, orang besar adalah jika terdapat hal-hal berikut ini untuk dapat menaikkan bintang nama kepemimpinannya sebagai pemimpin adalah : Pengakuan akan keberaniannya memimpin perang suku, berani mengambil keputusan dalam keadaan sulit, kualitas pembicaraan yang baik/kepandaian berdiplomasi, bersikap lemah lembut kepada semua orang besar kecil, dan selalu tahu segala soal.

Tapi keberanian berperang dan ketepatan mengambil keputusan dalam kesulitan, adalah kepribadian paripurna (par exelence) seorang pemimpin dalam tipologi masyarakat suku Dani Baliem Selatan. Seorang Pemimpin Jayawijaya, Suku Dani Baliem Selatan adalah seseorang yang memimpin pesta adat di Honay dan memiliki hubungan yang luas dimasyarakat.

Seorang pemimpin Jayawijaya adalah orang yang tidak memandang orang lain rendah. Tapi menghormati semua orang tanpa memadang usia dan jenis kelamin, suku, marga dan menerima tamu dengan layak. Pemimpin Suku Dani adalah seseorang yang mengaku dirinya kepu, (orang biasa) dan dengan warga suku lainnya tidak merendahkan. Tidak membanggakan dirinya sebagai orang besar. Tapi dapat bergaul baik dengan semua lapisan masyarakat. Dapat dimintakan jasanya dan dikunjungi waktu kapan saja. Memberikan miliknya yang berharga dan bernilai dimasyarakat.

Hampir semua pemimpin Balim menghendaki agar anak-anak mereka kelak menjadi pemimpin/Kainc. Anak-anak kainc lebih berpeluang menjadi kainc, sebab sejak kecil mereka sudah lebih awal mempelajari dan terlibat dalam upacara adat yang dipimpin para kainc, yang meliputi transaksi politik, ekonomi dan sosial budaya yang dilakukan orang tua mereka.

Dalam masyarakat orang Dani seorang pemimpin adalah orang yang memiliki kewibawaan dan kekuasaan yang sangat besar, sehingga ia dijadikan teladan oleh sebahagian besar warga masyarakatnya. Pergantian pemimpin tidak dilakukan berdasarkan adat istiadat resmi, atau pernyataan-pernyataan secara resm.

Pengangkatan kainc terjadi bukan karena warisan, tetapi karena (berdasarkan) keterampilan dan kelebihan serta prestasi yang mesti diekspresikan dalam bentuk keberanian berperang sebagai pemimpin pasukan, serta banyaknya membunuh musuh (dalam perang suku antar konfederasi). Faktor ini juga turut memberi kepercayaan atau menaikkan’bintangnya’, misalnya Ukumearik Asso dari Hetigima yang bukan keturunan kainc, tetapi menjadi kepala suku besar (konfederasi) karena prestasi yang dicapai selama mengembangkan kepemimpinan ia masih remaja hingga dewasa ia senantiasa berani tampil di medan perang.

Tidak ada syarat-syarat resmi untuk menjadi pemimpin, maka segala hal yang dapat menyebabkan orang untuk memperoleh pengaruh yang luas dapat kita masukkan kedalam syarat-syarat untuk menjadi tokoh kainc dalam masyarakat Dani. Oleh karena itu kepandaiaan bercocok tanam, berburu, berbicara, berdiplomasi, sifat ramah, murah hati, dan kekuatan fisik serta keberaniaan untuk berperang, dapat disebut sebagai syarat-syarat untuk menjadi pemimpin.

Syarat-syarat lain yang diberikan oleh Stefanus Ngadimin (1993 : 81), bahwa : “Kainc dapat berarti kuat, cakap, dermawan, pemberani, terhormat, kaya, baik hati, berwibawa, ataupun berpengaruh. Kainc diakui setelah ia dapat menunjukkan bukti-bukti kelebihan dan kemampuannya yang dapat dilihat dan dirasakan oleh suatu kekuatan yang memaksakan kehendak terhadap warga masyarakatnya”.

5. Religi dan Perubahan Budaya

Sejarah Kebudayaan Adat Suku Dani Baliem Selatan, adalah salah satu aspek budaya dari budaya-budaya Papua. Namun sejak awal penting disampaikan bahwa konsepsi religi Balim Selatan khususnya dan Jayawi Jaya umumnya bersifat tertutup dan rahasia bagi orang lain.

Tidak ada pretensi bahwa; Religi Suku Dani, Palim Selatan, adalah satu-satunya pandangan dari religi-religi dalam kebudayaaan Palim, Jayawi Jaya, kecuali hanya salah satunya. Sebab Bangsa Papua yang memiliki hampir 240, diantara 558 bahasa diseluruh Indonesia, (H. Myron Bromley; 1994), tentu memiliki keragaman suku dan budaya yang antara satu dan lainnya bisa berbeda. Karena setiap pandangan manusia selalu dan selamanya pandangan partial, tidak comprehenshif sekaligus. Hal ini menyangkut unsur subyektivitas, tempat dan waktu, yang selalu dan selamanya relatif. Berarti Sejarah religi Suku Dani Palim Selatan yang diangkat disini mengandaikan relativitas pandangan manusia.

Namun semua ahli yang meneliti tentang agama suku-suku di Fasifik dan Papua (Jan Buelars; 1987), menunjukkan bahwa keseluruhan suku bangsa Papua dalam mithologi keagamaannya menganggap mereka berasal dari dalam Goa . Demikian juga konsepsi Suku Dani, Palim Selatan bahwa manusia pertama muncul dari daerah Maima. Sebahagian menyebut manusia pertama keluar dari lubang di daerah Seima, ada juga yang menyebut di Wesagaput dan Orang Kurulu menyebut dari Goa di daerahnya. Masing-masing sub-suku juga menganggap bahwa daerahnyalah yang merupakan tempat asal usul manusia pertama muncul di Lembah Balim.

Menurut Suku Dani Lembah Palim Selatan, asal mula kejadian manusia berasal dari Seima, bagi orang Kurima, dari Maima bagi orang yang daerahnya dari Maima, Hitigima, Hepuba, Megapura (Sinata), Walesi, dan Walaik. Tapi ada juga yang mengatakan bahwa tempat itu adalah Wesagaput, dekat muara sungai Uwe dan Balim, demikian umumnya lokasi dikenal orang-orang Suku Dani Palim Selatan.

Perbedaan hanya dalam soal tempat. Karena masing-masing suku mengakui asal daerahnyalah asal mula manusia muncul. Kecuali perbedaan terletak pada lokasi, moeity (marga), clan, konfederasi dan aliansi perang suku.

H. M. Bromley (1993), yang mengutip dari hasil pengamatan Robert. N. Bella, menunjukkan bahwa, Religi dibedakan dari agama. Religi menekankan bentuk hubungan dengan obyek diluar diri manusia. Obyek bersifat polyteis (satu Ilahi Tertinggi diatas ilahi lain), bersifat lokal dan tidak berdasarkan wahyu tertulis (intuisi). Sebaliknya agama lebih ditekankan pada bentuk hubungan satu Ilahi Tertinggi (moneteisme), bersifat universal dan berdasarkan wahyu tertulis serta teruji dalam sejarah yang panjang. Pandangan religi orang Balim diarahkan ke masa lampau sampai pada zaman pra existensi dunia dan manusia.

Dengan demikian religi menurut konsep orang Balim adalah religi ketergantungan dengan obyek diluar dirinya (yang Kuasa, Yang Ilahi, Yang Kudus, Realitas Mutlak) dan juga relasi denga masyarakat dan linkungannya (Myron Bromley, 1991:3).

a). Mithology Kejadian Manusia

Manusia awal muncul dimuara sungai antara Palim dan Eagec-ima. Nama tempat itu adalah Wesapot (dekat muara sempit sungai Palim/arus air deras). Tempat itu kini ditutupi oleh sungai Eagec-Ima (Eagenyma). “Wesapot”, yang artinya; "dibelakang keramat", "rahasia”, dari ada. Terdiri dari dua kata yaitu : Wesa = "keramat/rahasia/tabu/tidak boleh". Apot = "dibelakang”, "tertutup (rahasia)". Jadi Wesapot artinya; "dibelakang semua (rahasia) dari ada".

Tatkala manusia mula-mula muncul dari lubang itu, manusia yang paling pertama keluar menepati dan menguasai area lokasi daerah ini. Manusia tidak sendirian keluar dari lubang Goa itu. Setiap clan keluar dari lubang itu bersama dengan beberapa hewan. Tapi berturut-turut dengan berbagai jenis hewan dan binatang semuanya keluar lewat lubang Goa itu.

Masing-masing clan keluar dengan membawa simbol-simbol tertentu dari hewan maupun tumbuhan. Tapi manusia yang paling belakang keluar orangnya beda. Karena warna kulitnya putih, orangnya tinggi sekali, karena dia lain sendiri maka dia dibunuh, dan bagian potongan-potongannya itu yang sampai kini masih tersimpan di sejumlah Honai Adat di seluruh Lembah Balim/Palim. Orang yang dibunuh itu namanya Naruekut. Tempat ini, Wesapot, kini masih ada sisa-sisa jejak manusia awal itu.

Bukti-bukti berupa simbol tentang jejak sejarah kejadian manusia mana kini dapat disaksikan berupa pohon yang digunakannya sebagai tangga untuk naik kelangit untuk selama-lamanya, honai keramat, dimana bagian potongan disimpan oleh masing-masing clan bersama simbol-simbol berupa batu hitam.

Menurut Miron Bromly, simbol Matahari dan Bulan terkait erat dengan benda sakral yang hinggi kini disimpan didalam lemari (ka'kok), honai pria. Benda yang disimpan didalam lemari honais pria adalah berupa batu hitam, sejenis dengan axe (batu hitam) namanya tugi/hareken.

Batu jenis ini pada masa lalu dapat pula dibentuk menjadi kampak, mahar perkawinan dan kematian. Dalam bahasa Dani batu serupa ini disebut dengan nama "Ye Eken". Tapi Ye Eken berbeda dengan Hareken sebagai simbol kekeramatan yang padanya bergantung segala pandangan baik-buruk, kesuburan dan satu-satunya benda yang dihadirkan dan diarahkan dari semua aktivitas hidup dan kehidupan manusia Baliem.

Hareken dapat pula disebut dengan nama tugi/tugieken. Nama ini arti sebernarnya terkait dengan nama manusia awal. Manusia awal yang dianggap sebagai "Tuhan" dalam religi manusia Jayawi Jaya yang telah pergi naik kelangit. Manusia asal itu kini menjadi matahari dan menerangi manusia di bumi. Matahari ada hubungannya dengan benda keramat yang disimpan di Honai keramat pria. Honai tempat dimana terdapat benda "Tugi atau Hareken" dinamakan dengan "kanekala atau tugiaila".

"Hareken" terdiri dari dua kata yakni Har”= “Engkau”, Eken = “Inti/Pusat”. Jadi hareken adalah "Pusat Engkau”. Myron Bromly, menerjemahkan Hareken/Tugieken agak lain atau sama dengan pengertian Wesapot, "dibelakang rahasia".

Jadi Hareken adalah "dibalik dari ada". Hal ini dapat di ungkapkan dalam bahasa Baliem Selatan sebagai berikut : Yimeke Timeke Timeke Ero Pakiat Atukenen artinya: “Sumber segala sumber berasal. Maka "Kaneka atau Tugi-Eken" adalah yang dimaksudkan dengan "sumber segala sumber berasal". Pandangan demikian didapati dalam budaya atau religi Suku Dani Baliem Selatan. Ketika awal mula manusia muncul dimuka bumi, di daerah Wesapot/Maima, (daerah ini bagian dari Kecamatan Hitigima, (12 km2 dari kota Wamena arah Selatan).

Lokasi manusia keluar persis dimuara sungai Eagec-Ima. Kerahasiaan tempat dan lokasi ini pantangan untuk diketahui clan lain, sebagaimana diakui Astrid S. Susanto-Sunario (1993), adat masyarakat Baliem atau Parim, sebenarnya dirahasiakan terhadap orang luar dan jelas tidak boleh diketahui oleh warga perempuan (Parim), juga bukan clan murni geneologis sendiri yang bersifat patrilineal pantangan disampaikan. Dari berbagai sumber moiety Assotipo, menerima mandat dan memelihara tempat-tempat keramat itu.

Dalam budaya Jayawiajaya clan terdiri dari dua moiety/parohan yang memungkinkan terjadinya pola perkawinan secara teratur. Sesama parohan atau yang ada persamaan parohan dari Wita pantangan melakukan perkawinan, dan sanksinya tegas bila terjadi pemerkosaan. Kecuali Wita boleh melakukan perkawinan dengan Waya. Dalam Wita terdiri puluhan fam tapi masih satu moiety (belahan) dan demikian juga dengan Waya. Setiap kelompok pemukiman penduduk terdiri dari dua pemukim misalnya moiety Asso dan Wetipo, digabung menjadi satu dan disebut dengan Assotipo.

Orang-orang Assotipo menuturkan manusia pertama keluar dari dalam Goa , persis di muara sungai Eagec. Tempat itu kini dialiri oleh sungai Eagec. Sungai Eagec, “dipanggil” oleh manusia pertama. Karena malu dia memanggil sungai Eagec agar mengaliri (menutupi), Goa tempat dimana manusia pertama muncul. Ditempat itu asal muasal manusia keluar dan kini tersebar seluruh dipermukaan bumi.

Kesan penulis bahwa mythology sejarah konsepsi manusia Jayawi Jaya penuh dengan perlambangan, termasuk ceritera mythology asal kejadian manusia Suku Dani Lembah Paliem Selatan ini.

b). Modernisasi

Modernisasi pada dirinya mengandung pengertian pembaharuan yang meliputi seluruh aspek kehidupan, pergantian cara poduksi, pikiran dan perasaan yang mengarah kepada hal-hal yang baru: nilai-nilai/norma-norma sosial, pola-pola perilaku, organisasi, lembaga-lembaga kemasyarakatan, lapisan-lapisan dalam masyarakat, kekuasaan dan wewenang serta interaksi sosial dan seterusnya untuk suatu kehidupann yang lebih baik dan lebih layak.

Modernisasi merupakan proses sistematik. Modernisasi melibatkan perubahan pada hampir segala aspek tingkah laku sosial, termasuk didalamnya industrialisasi, urbanisasi, sekularisasi, sentralisasi dan sebagainya. Dalam rangka mencapai status modern, struktur dan nilai-nilai tradisional secara total harus diganti dengan seperangkat sruktur dan nilai-nilai modern. Untuk hal ini, Huntington , menyatakan, bahwa teori modernisasi melihat ‘modern’ dan ‘tradisional’ sebagai dua konsep yang pada dasarnya bertentangan (asimetris).

Karena itu ahli sejarah dunia Marshall Hodgson lebih cenderung tidak menamakan zaman mutakhir umat manusia yang dikuasai oleh ilmu pengetahuan dan teknologi ini sebagai ‘Zaman’ Modern’-karena konotasi perkataan ‘modern’ yang selalu positif- melainkan ‘Zaman Teknik’ (teknik age) dengan konotasi yang netral, dapat baik dan dapat pula buruk. Karena kenetralan ‘Zaman Teknik’ itu maka peran etika amat penting.

Bahkan Roger Garaudy (Muallaf, nama syahadatnya, Muhammad Nuruddin), menyebut zaman teknik sebagai ‘agama piranti’; Yakni suatu zaman yang didominasi oleh piranti, teknik atau instrumen, dan sedikit sekali menjawab apa sebenarnya tujuan intrinsik dari semua itu. Piranti, teknik, dan instrumen menjadi tujuan dalam dirinya sendiri sehingga menguasai hidup manusia dan menjadi agama baru.

Sampai bulan April 1954, waktu beberapa orang pendeta Nasrani dari Amerika Serikat dari organasasi penyiaran agama Cristian and Missionary Alliance (disingkat CAMA) tiba, orang Palim masih hdup terpencil dari dunia luar. Mereka pada waktu itu masih menggunakan alat batu yang sama bentuknya seperti oleh para ahli prasejarah diperkirakan berasal dari kala Neolitik, sehingga mereka seakan-akan masih berada dalam Zaman Batu Neolitik.

Para pendeta itu kemudian beberapa pusat penyiaran agam di bagian selatan Lembah Balim di daerah konfederasi Asso-Lokobal/Asso-Wetipo (sic). Dengan kehadiran para pendeta itu sebahagian orang Dani tiba-tiba dihadapkan pada dunia luar yang diwakili orang-orang bule, yang cara hdupnya dilengkapi peralatan yang serba modern, dari yang berukuran kecil yang dipakai sehari-hari, sampai pesawat terbang, yang mereka gunakan sebagai alat transportasi untuk keluar masuk daerah Lembah Balim.

Kontak dengan dunia luar menjadi lebih merata ketika pemerintah Belanda dalam tahun 1956 mendirikan pos pemerintah di Wamena, yang dilengkapi dengan lapangan terbang yang dapat didarati pesawat-pesawat sebesar Dakota dan ketika organisasi penyiaran agama Katolik Minnebriders Fransiskanan membuka pusat kegiatannya di Wamena dua tahun kemudian.

Kontak awal suku Dani di Balim terjadi pada tahun 1926, dengan kedatangan expedisi ilmiah Steerling. Proses modernisasi pada masyarakat Balim seperti dicatat dalam buku ‘Kebuadayaan Jayawi Jaya’, disunting Astrid Susanto (1994) terjadi menurut tahapan kurun waktu, sebagai berikut :

1). Masa kontak expedisi Steerling pada tahun 1926;

2). Masa kontak budaya pada tahun 1954-1962.

Kontak modernisasi disini lebih pada budaya material (kapak, pembukaan pos-pos pemerintah/missi serta pembukaan jalan-jalan raya (zaman pemerintahan kolonial Belanda).

3). Masa integrasi pada tahun 1963-1969.

Pada masa ini Suku Dani terintegrasi kedalam negara RI melalui Penpres 1 tahun 1963 dan pada tanggal 16 September 1969 dengan peristiwa Pepera.

4). Masa awal pembangunan pada tahun 1970-1974.

Pada masa ini pembangunan belum banyak tampak, banyak sekolah dibuka, komunikasi cukup lancar, perumahan dikota Wamena makin bertambah, pos-pos di kecamatan dan jalan-jalan raya dibangun, rumah sakit dan seterusnya.

5). Masa Adaptasi pada tahun 1975-1981. Pada masa ini banyak pendekatan pembangunan dilakukan sebagai adaptasi sosial-budaya, Pemerintah Desa dibentuk menurut UU Mendagri No. 5 Thn 1974, kursus pelopor pembangunan desa dibuka (KPPD) sebagai tempat pengkaderan dari wakil tiap desa yang dibentuk. Proses pembangunan diterima baik dalam bernahasa Indonesia yang baik dan banyak hal mengalami penyesuaian dan perubahan.

6.). Masa transisi pada tahun 1982- sampai sekarang

Sebgaimana pada umumnya daerah Pegunungan Tengah Papua, dalam tahun 1980-1990 awal, Suku Dani, banyak di jumpai kaum prianya mengenakan busana Koteka dan rumbai bagi wanitanya. Dikota kini tidak banyak dijumpai, namun daerah-daerah yang masih terisolasi dan jauh dari pusat pemerintahan banyak terdapat penduduknya yang masih mengenakan Koteka sebagai lambang ketertinggalan dan keterbelakangan.

Usaha moderinisasi baru dilakukan oleh oleh aparat militer Indonesia seperti dalam operasi task force oleh Gubernur Aqub Zaenal pada tahun 1970-an awal. Tapi dalam pengertian sesungguhnya usaha modernisasi dilakukan oleh Missionaris dan pemerintah Indonesia.

c). Agama

Pada mulanya Missionaris Kristen dari Amerika dan Katolik dari Belanda tidak sanggup mengajak suku Dani Palim/Balim dari Konfederasi Asso-Lokowal dan Asso-Wetipo, untuk menganut agama yang mereka bawa. Suku Dani Balim Selatan walaupun pada awalnya menerima kehadiran orang Barat, tapi sikapnya agak takut-takut, karena menurut mereka orang Barat persis Mokat (setan), yaitu arwah orang Dani yang telah meninggal, dan muncul kembali semacam reinkarnasi.

Orang Lembah Balim mulai mendengar injil yang disampaikan beberapa orang utusan injil CAMA dan beberapa orang Me yang datang kesana dalam bulan April 1954. Salah satu utusan injil orang Me yang pertama pergi ke Balim mengabarkan injil di Balim ialah : Elisa Gobay.

Missi agama yang pertama muncul Lembah Balim, Wamena Kabupaten Jayawi Jaya tempatnya di Hitigima, di daerah Konfederasi Asso-Lokobal/Asso-Wetipo, pada bulan April tahun 1954, oleh beberapa pendeta Nasrani (Kristen Protestan) dari Amerika Serikat dari Organisasi penyiaran Agama Cristian and Missionary Alliance (CAMA). Kemudian disusul organisasi penyiaran agama Katolik Minnebroeders Franciscanen membuka pusat kegiatannya di Wamena atau Woma di wilayah konfederasi Lagowan-Matuan dua tahun 1956 dan di Hebupa distrik Asso-Lokobal.

Mula-mula kehadiran dua agama besar yang dibawah pertama oleh para Missionarisnya tidak menarik perhatian Suku Dani Lembah Balim Selatan. Sampai dengan tahun 1970-an tidak satupun penduduk pribumi memeluk agama. Bahkan sikap mereka menolak habis-habisan.

Orang Balim menurut Dr. Benny Giay, (1998), tidak serta merta menerima agama Kristen yang di bawa utusan injil. “Berbeda dengan orang Dani Barat, orang Dani di Lembah Balim menolak injil selama bertahun-tahun. Penerimaan Injil di Lembah Balim tidak terjadi secara cepat, tetapi bertahap. Baru akhir tahun 1970-an orang Dani Lembah Balim mulai menerima kabar gembira”.

Dan terakhir pada masa integrasi Papua kedalam negara RI, bersamaan itupula agama Islam di perkenalkan kepada Suku Dani di Lembah Balim tepatnya di daerah Megapura antara tahun 1963-1969 di wilayah Konfederasi antara Asso-Lokobal, Wuka-Wetapo dan Lani-Wetapo.

Pengaruh Islam secara luas diseluruh pelosok daerah propinsi Irian Jaya dan dengan semua kelompok suku di daerah ini dalam hidup sehari-hari dalam semua bidang kehidupan, baru mulai dirasakan setelah Irian Jaya berintegrasi menjadi bagian dari Republik Indonesia awal tahun 1960-an.

Pada umumnya Suku Dani hingga dewasa ini masih menghayati nilai-nilai lama mereka sebagai agama. Animisme cukup dominan saat-saat ini hingga tahun yang akan datang ini, mengingat sangat lambatnya proses modernisasi atau transpormasi nilai-nilai baru, terutama pembangunan oleh pemerintah dan perubahan oleh semua pihak.

d). Pendidikan

Pada awalnya orang tua kalangan suku Dani Asso-Wetipo dan Asso-Lokowal menolak menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah yang disediakan oleh para missioris, hal demikian dihadapi oleh perintah Indonesia pasca integrasi. Dalam hal pendidikan maupun agama, pada mulanya para kepala suku menolak ajaran agama maupun menolak anaknya untuk disekolahkan.

Lembaga pendidikan atau sekolah-sekolah yang dibangun para missionaris Barat dan Pemerintah Indonesia tidak menarik minat Suku Dani di Balim Selatan. Namun secara bertahap baru ada anak Suku Dani mulai dididik dan sekaligus di Baptis. Putra Balim yang telah menjadi sarjana dan sarjana muda antara lain adalah David Huby, Simeon Itlay, Benny Hilapok, Agus Alua, Bartol Paragaye, Bonafasius Huby, Alpius Wetipo, Tobias Itlay, Damianus Wetapo, Dominicus Lokobal, Benny Huby, Vincent, Jelela Wetipo, Tadius Mulait dan lain-lain.

Saat ini deretan intelektual pertama Papua adalah hasil godokan para missionaris, misalnya; Benny Giay, Sofyan Nyoman, (Protestan), Agus Alue Alua, David Huby [Bupati Kab. Jayawi Jaya, tahun 1999-1996], Niko Asso-Lokowal (Katolik).

*** ***

PLURALISME RELIGIUS

Dalam artikel di websitus Komunitas Papua, Saudara “Ismail Asso” (alias?), mendramasitir sedemikian rupa sehingga Islam dan Muslim seakan begitu berbeda. Tulisan ini mencoba menelusuri kebenaran dan menguji argumentasi artikel dimaksud dengan asumsi bahwa kebenaran argumentasi manusia selamanya bersifat subyektif. Tuduhan dari aspek Iman secara ilmiah betapapun memenuhi kualifikasi akademis akhirnya juga pragmatisme karena potensial biased of interest communalistic, maka dengan sendirinya absurd belaka.

Relativitas Persepsi Manusia

Secara filosofis, para ahli ilmu sosial sepakat, bahwa 'agama memiliki nilai kebenaran bersifat universal dan tidak dibatasi oleh sekat-sekat primordialisme.' Misalnya; Batas teritorial, geogerafis, bahasa, dan antropologis, (ras atau suku bangsa). Oleh sebab itu agama apapun dan dimanapun, kita manusia, siapapun (baca, tanpa dimensi lokalitas relatif), dapat menerima akan kebenaran ajaran agama, agama apapun. Hal demikian tidak terkecuali di Papua dewasa ini.

Namun pada tataran aktualisasi, dalam dimensi sosial dan budaya kontemporer, kontekstualisasinya menjadi berbeda sesuai dengan rumusan filsafat; yang mempengaruhinya yaitu oleh faktor relatifitas katogoris berdasarkan asumsi-asumsi yang mendasarinya atau dengan ungkapan lain, nilai lokalitas manusia dipengaruhi oleh dimensi waktu dan tempat, sehingga berimplikasi multi re-interpretasi yang saling berbeda pula. Maka konsekukensi konsepsi demikian konklusinya jelas bahwa: Para penganut (umat) yang taat mengimani nilai dogma (kepercayaan) yang diajarkan dan dibawakan oleh semua agama (apapun), dengan pola hidup dan pola ketaatan tertentu sesuai ritualisme iman (dogma) agama, yang dianutnya itu seperti konsep ajaran yang sudah ditetapkan cara-caranya, dari para pembawa ajaran, sebagai disebut Nabi atau Rasul.

Umumnya Agama mengandung nilai-nilai dogma yang bersifat transendental yakni "konsepsi manusia yang terus melampaui keluar jauh dari existensinya dari dekat disini menuju yang jauh sana", dan memiliki konsep eskatologi, yaitu suatu pemahaman yang mengajarkan akan kejelasan makna hidup alam dunia yang fana ini dan kelak sesudah kematian dialam akherat nanti. Konsepsi demikian umumnya dimiliki dan diwakili oleh agama semitisme yaitu Yahudi, Kristen dan Islam yang biasa dikonstantir oleh para ahli seperti Max Weber (Ahli Filsafat dan Sosiologi Agama dari Jerman), sebagai: Abramic religion, karena tiga agama besar dunia ini bersumber dari Nabi Ibrahim AS, (Abraham), -ini berarti umumnya agama anutan bangsa kita, Papua Barat saat ini.

Inklusivisme Beragama

Konsekuensi agama yang demikian penting, menjadi kesadaran kita, untuk tetap menjaga kontinuitas inklusivisme sikap beragama yang bersumberkan pada satu nenek moyang, ( atau monotheisme). Kebersatuan nenek moyang asal agama pada masa kekinian dan disini (baca, kontemporer). Serta tetap dan terus menimalisir potensi-potensi perbedaan dengan mengedepankan sikap toleransi yaitu sebagai sikap keberagamaan inclusif (terbuka). Dan untuk kita Papua dengan landasan atau paradigma inclusifisme (keterbukaan sikap beragama) ini dapat terakomodasi dalam lembaga, "Dewan Masyarakat Adat Papua (DMAP), Majelis Rakyat Papua (MRP)", sebagai lembaga "reinkarnasi" atau pengejawantahan kurtural rakyat Papua pada masa lalu, kini dan akan datang menjadi kebutuhan primer.

MRP atau Lembaga Adat sebagai mediator, fasilitator, stabilisator dan dinamisator tetap menjaga existensi dinamika atau pluralisme nilai religiusitas rakyat maupun aspek sosiokultural yang kita miliki kini. Dan perannya sejak dulu sebelum agama-agama besar dunia datang masuk ke Papua, harapannya, tetap mengawal agar jangan sampai ada sikap-sikap keberagamaan yang ekslusif (tertutup), yang berorientasi intolerans pada kelompak kepercayaan agama lain di luar anutan kita. Agar harmonisasi hubungan antar pemeluk umat beragama tetap terjalin komunikasi yang dimanis dan mencair tapi juga intens, dalam naungan Papua yang kita cintai bersama.

Mengingat banyak bukti bahwa para peninjau asing sebagaimana di laporkan oleh banyak pihak bahwa agama bagi orang Papua adalah hanya sebatas sarana untuk mereka mencapai tujuan yang lain. Kalau begitu dampaknya jelas destruktif dan ini berarti konflik horisontal tidak dapat terhindari lagi jika dibiarkan, apalagi tingkat pendidikan masyarakat Papua yang umumnya terbelakang akibat penjajahan yang tanpa disadari terus menerus. Upaya bodohisasi penjajah dan para kolonial lain telah melahirkan akibat lain juga. Upaya bodohisasi (atau, pembodohan) terus berlangsung telah lama –secara sistematis sampai akhir-akhir ini, (tahun 1999 di berlakukan UU OTSUS) --sejak daerah ini di infasi oleh Soekarno tahun 1963 silam, ditambah relativitas kemampuan manusia sangat potensial berbeda sesuai relativitas tempat dan waktu.

Teologi Pembebasan

Suatu doktrin, apapun doktrin itu, sesuai eksistensi hidup manusia didunia dan kebutuhan akan kelansungan hidup manusia sebagai makhluk sosial tidak selalu dan selamanya dapat sejalan, kecuali sesuai dengan kapasitas dan kualitas interpretasi pemahamannya, yang relatif dan mutlak manusiawi untuk berbeda (baca, mispersepsion yang berdampak pada misunderstanding). Itu berarti, hanya sebatas kebutuhan akan rasa kenyamanan dan keamanan, bagi survival entitasnya, maka dengan sendirinya kita terjebak pada pragmatisme.

Reintrepretasi teks-teks suci, (kitab), oleh manusia berdampak relativitas pemahaman agama yang cenderung pragmatis tapi juga fragmentaris sesuai dengan, potensi, kubutuhan dan kemampuan akan survival eksistensinya dalam komunitas plural. Karena itu agama sesungguhnya adalah juga potensi membebaskan manusia dari keterpurukan akan diskriminasi dalam hegemoni mayoritas umat beragama. Karena itu harus difahami, agama oleh manusia dalam implementasinya disesuaikan kebutuhan akan kelangsungan hidupnya yang dibatasi oleh lokalitas tempat dan lokalitas waktu belaka dimana dia berada. Maka disini perbedaaan interpretasi subyektifisme sulit dihindari dari dogma agama dan adalah natural belaka.

Disini manipulasi ajaran agama oleh umat manusia dimanapun dan kapanpun potensial dapat terjadi, walau betapapun diyakininya sebagai yang benar, tetapi pengamatan dari "luar" dari agama lain dia dapat terlihat kontras akan kelemahan (atau kesalahan) ini apalagi perspektif kebenaran universal. Karena itu rumusan bahwa manusia tidak ada yang benar kecuali kebenaran itu sendiri. Maka kita wajib dan harus menghayati nilai bahwa kebenaran yang kita yakini sebagai yang benar itu tidak boleh menghalangi orang lain juga benar.

Maka ini berarti kita tidak boleh harus kemudian bersikap skeptis terhadap sesuatu yang bernilai dogma itu. Tetapi yang benar adalah kita membangun suatu rumusan filosofis atas potensi kebenaran orang lain berdasarkan potsulasi atau asumsi-asumsi, sehingga memberikan kesempatan kepada orang lain ragu atas kebenaran subyektif lain. Atheisme Arbert Camus, berangkat dari skeptisme yang melihat umat manusia saling membunuh atas nama kebenara (truth cliem), maka terkenal ucapannya yang akhirnya ia sendiri bunuh diri yaitu; "Yang lalu tidak lagi ada, yang akan datang belum lagi ada, kinipun tidaklah memuaskan".

Agama manusia betapapun kepalsuannya dari pandangan subyektif lain, spritualitas adalah penting karena menjajikan harapan hidup. Tanpa ini adalah suatu nihilisme kebenaran yang berdampak skeptisme terus menerus yang berakibat vatalisme. Namun bukan Vatalisme yang terjebak pada mesianisme yang tanpa ujung pangkal yang berarti juga bertentangan dengan pendirian filsafat Friedrich Nietzsche yakni terciptanya mentalitas budak.

Sikap humanisme yang atheistik bukan harapan kita, namun inklusifime yang liberal dengan menyadari pluralitas masyarakat sebagai hukum sosial yang dapat menjembatani kita berbeda pendapat dan berbeda menerjemahkan agama sesuai lokalitas tempat perkembangan situasi sosial yang melingkupinya. Adalah suatu keniscayaan sesuai dengan dogma agama Islam yang mengajarkan bahwa Sang pemilik hakekat dari alam raya adalah Tuhan semesta alam, artinya manusia pada hakekatnya hidup didunia ini sifatnya hanya sementara untuk mengabdi sang pemilik kehidupana abadi yakni: Tuhan yang Maha Esa.

Maka tidak heran pula ritualitas para sufi dikalangan Muslim dahulu seperti Al-Hallaj, Abu Yazid Al-Busthomi, Rabiahtul Al-Adawiyyah, Imam Ghozali, Syekh Jalaluddin Arrumi, Asyibli dan syekh Abdul Qodir Al-Jilani dll. Adalah para ulama yang atas re-intrepretasi atas ayat Al-Qur'an dan Al-Hadits atau Sunnah Rosul yang mencoba menghindari kehidupan mewah para Sultan (Raja) zaman ke-emasan Islam abad tengah di masa lalu terlepas dari bentuk protes sosial mereka menunjukkan hal ini. Bahkan Al-Hallaj, Sang Martir sufi, mati ditiang gantungan atas prinsipnya itu sebagai Yesus Muslim.

Bagi mereka kehidupan dunia ini adalah tempat persinggahan sementara, dan karena itu kehidupan dunia ini adalah ibarat terminal atau stasiun untuk menuju kehidupan abadi yakni bersatu dengan "Sang Kekasih Abadi", Tuhan. Nampaknya praktek ritualisme para ulama Islam ini secara konseptual banyak terinspirasi atau lebih tepat konversi dari ajaran-ajaran Kristen-Yesus Kristus. Terlepas hasil rekayasa ritualisme para rahib kristen abad tengah di Eropa, sebagaimana tuduhan para ahli Syari'ah Islam, namun ini terbukti, setidaknya banyak persamaan antara kedua praktek ibadah demikian.

Oleh sebab itu sebahagian para rahib dari kalangan agama Katolik yang memilih hidup asketisme dengan cara hidup tertentu seperti tidak kawin umumnya para uskup dan suster. Praktek ini adalah ajaran asketisme yang menjauhkan kehidupan mewah yang materialistik, dan ini adalah praktek spritualisme yang integral dalam institusi kerahiban Katolik dewasa ini. Praktek ini bagian dari penyembahan dan pengabdian total pada Sang Kholik (baca, Tuhan), sebagai rasa ketaatan manusia mendekatkan diri pada Tuhan dengan menjalankan doktrin ini. Namun pada akhirnya reformasi total atas intrepretasi teks Kitab suci (baca, Alkitab), baru dilakukan di Jerman oleh Marthen Luther yang umum kita kenal sekarang menjadi agama Kristen Protestan.

*** ***

ISLAM MENDUKUNG PAPUA MERDEKA?

Sengaja judul tulisan ditulis begini agar permasalahan menjadi jelas. Namun pada tempat yang terbatas ini, tidak dapat dijelaskan secara tuntas menyeluruh, hanya dijelaskan terbatas, padahal pokok persoalannya luas. Namun paling penting adalah bahwa ada niatan penulis mencoba mengangkat dari sudut lain, yang mungkin kebanyakan kita tidak biasa memandang keterkaitan Islam dan prinsip pembebasan Papua, mau melihat disini agar permasalahan menjadi jelas dalam menjawab judul tulisan yang memang sengaja diberi pertanyaan.

Penulis merasa penting menjelaskan ini sehingga kekeliruan atau lebih tepatnya ketidaktahuan umumnya kita selama ini, baik dari kalangan didalam orang Islam terutama Muslim Papua, dan utamanya kebanyakan orang Papua diluar Islam yang melihatnya sepintas lalu, keterkaitan antara Islam-- sebagai suatu nilai kebenaran yang bersifat universal sebagaimana agama-agama besar lainnya disatu pihak, --dan Perjuangan Gerakan Papua Merdeka dilain pihak, serta Muslim sebagai pribadi-pribadi yang memeluk nilai Islam yang memang pada akhirnya dapat berpotensi tidak selamanya sejalan. Maka tulisan ini hanya sedikit mencoba menjelaskan keterkaitan itu.

Muslim Papua Antara "M" atau "O"

Banyak kalangan dan mungkin sampai saat ini, Muslim Papua dalam perjuangan papua Merdeka dari pejajahan Indonesia bersikap tidak progressif atau malah tidak ada inisiatif sama sekali dalam rangka mengambil bagian memperjuangkannya bersama rakyat Papua secara bersama. Bahkan lebih parahnya lagi bahwa seakan mereka menyetujui penjajahan Indonesia atas dirinya, mereka diam begitu saja tanpa ada perlawanan sebagaimana masyarakat umumnya Papua dari penganut agama lain Islam.

Lembaga atau institusi milik Islam Papua misalnya MUI, Muhammadiyyah dan PWNU; seakan bisu dan diam tanpa peduli akan pelanggaran HAM di Papua Barat, sejak daerah ini di aneksasi Indonesia melalui Pepera tahun 1962 yang konon cacat hukum karena tidak melalui one man one vote. Tidak sebagaimana lembaga milik Kristen misalnya GKI atau Pastoran dari Katolik, yang banyak melaporkan hasil temuan pelanggarakan HAM berat di pegunungan bahkan terasa lebih dominan kepekaanya sebagai menegakkan nilai-nilai kebenaran ajaran agamanya itu.

Sebaliknya, Muslim Papua dan Ormas Islam. Umumnya institusi milik Islam dan kaum muslimin dalam sikap politik antara pilihan "M" dan" O" sebelum atau pasca kongres Papua, banyak kita saksikan bahwa Muslim Papua terkesan mendukung "O" alias menghalangi Gerakan Papua Merdeka. Sampai saat ini hampir banyak di pastikan Muslim Papua mungkin bisa dibahasakan; tidak ingin merdeka terlepas dari NKRI. Hal ini lebih-lebih dari kalangan “amber” muslim yang datang ke Papua dari penduduk Indonesia yang memang datang untuk mengabdi kepentingan colonial (Jakarta-Indonesia), dari kalangan "amber". Atau mereka yang dari kalangan masyarakat sipil Asia, Indonesia-Melayu, yang datang ke Papua untuk mengais rezeki.

Terlepas dari persoalan beda interpretasi teks-teks kitab suci sebagai platform fundamental (baca; Al-Quran dan Al-Hadits) umat Islam seluruh dunia sebagai guidance, adalah argumentasi kebalikan jawaban para Muslim pribumi yang ikutan bersikap sama dengan para amber. Hal demikian ini menjadi terasa aneh bagi kita, ini disebabkan oleh bertentangangannya dengan prinsip Islam yang mendasar yang kita tahu sebagai rahmatn lil'alamin itu, tidak di wujudkan dalam sikap politik Muslim Papua dalam pilihan "busuk" Indonesia.

Implikasi demikian itu menyebabkan Islam salah di terjemahkan dalam sikap Politik antara O dan M oleh Muslim Papua. Disini seakan tidak ada ruang rekontektualisasi nilai-nilai Islam sesuai dengan konteks social politik dan budaya Papua. Hal demikian disebabkan oleh akibat kurang mengenalnya kita, Muslim Papua, akan ajaran inti Al-Quran yang sesungguhnya hadir dimuka bumi, untuk membebaskan umat manusia dari ketertindasan, pembunuhan, perampasan hak-hak asasi manusia seperti yang terjadi pada Bangsa Papua saat ini.

Perampasan atau perampokan harta kekayaan Orang Papua yang dilakukan oleh bangsa Indonesia betapapun Indonesia adalah beragama Islam tetap itu adalah kedholiman, (bertentangan dengan ajaran agama Islam). Penganiayaan bangsa Indonesia atas bangsa Papua apapun alasannya, sesungguhnya bertentangan dengan ajaran inti Islam yang terkandung didalam kitab suci, Al-Qur'an dan Al-Hadist. Sebab esensi kehadiran Islam dimuka bumi adalah rahmatan lil’alamin, kasih sayang bagi seluruh alam, dan missi utamanya kemerdekaan, kebenaran, keadilan dan pesan utamanya sesuai nama agama Islam itu sendiri yaitu kedamaian.

Penulis sangat menyesal banyak saudara Muslim lain, sikapnya dalam konteks Papua lebih pro "O" atau bertentangan dengan kenyataan bahwa kita di jajah Indonesia. Dan umumnya Muslim Papua tidak sejalan dengan penulis atau Thoha Al-Hamid yang Sekjen PDP itu. Bahkan Muslim Pribumi mudah percaya dengan omong kosong Indonesia yang umum kita ketahui bersama selama ini, seperti mengintegrasikan Papua didalam RI/NKRI untuk membangun dan memajukan Rakyat Papua.

Oleh sebab itu tulisan ini lebih sebagai pendidikan politik Muslim Papua, akan hak-haknya yang diberikan dan dijamin oleh Alloh SWT untuk di jaga. Dan kalau dirampas orang dari bangsa lain atas kekayaan alam negeri yang diberikan oleh Allah SWT, sebagai amanah dan dipelihara dari kerusakan, perampasan dan pencurian negara lain seperti kita Papua harus dilawan.

Maka semoga minimal tulisan ini harapannya harus menjadi kewaspadaan Pribumi Muslim Papua. Dan orientasi Muslim Pribumi kedepan harus tetap atau kembali menbangun kesadaran sebagai Muslim Papua untuk berdiri dalam barisan terdepan dalam menyuarakan kebenaran atas penjajahan dan penindasan hak-hak hidup dasariah manusiawi yang dirampok dan ditindas oleh Indonesia. Dan penjajah Indonesia harus dilawan sebagai hukum kewajiban (fardhu ‘ain) oleh seluruh indivudu Muslim Papua.

Dengan menyatakan ini Penulis yang berasal dari Muslim Papua asal Kelahiran Walesi, Wamena, Kab. Jayawijaya Papua, menyerukan resolusi jihad fisabilillah bagi Penganut Islam Papua. Setidaknya upaya tulisan ini sebagai ghozwulfikri, bahwa dengan opini demikian akan menjadi khiroh (semangat) internal Pribumi Muslim dari kekeliruan sikap politik antara dua pilihan sebelum ini atas intrepretasi ajaran Islam. Muslim Papua harus menegakkan harga diri sebagai makhluk Allah SWT, yang mulia di muka bumi dapat diwujudkan dengan menyatakan kebenaran sebagai yang benar dan salah sebagai salah tanpa memperdulikan penjajah Indonesia sebagai sesama Muslim.

Islam Dan Muslim Berbeda

Mendukung Papua Merdeka sambil mempertahankan diri sesama Papua adalah wajib hukumnya bagi Muslim Papua kedepan ini. Yang menjajah betapapun ia Muslim harus dilawan karena Islam berbeda dengan Muslim, apalagi Jawa, atau manusia Bugis-Buton Makasar, sama sebaliknya manusia Bugis, Buton dan Makasar atau Madura wajib mendukung sesuai ajaran Agama Mulia ini yakni Islam, kalau memang mereka benar Muslim dan ingin menegakkan nilai-nilai Islam yang benar sesuai ajaran yang ada dalam Qur'an-Hadist.

Muslim Papua, dari Jawa, Madura atau Sulawesi kalau benar mereka beragama Islam berarti harus bersama Orang Papua lain wajib memerdekakan Papua dan bersama Orang Papua lain baik Muslim atau bukan wajib melawan penindasan itu. Sebab pendindasan oleh siapapun dan dari seagama dengan kitapun itu harus dilawan karena tidak sejalan dengan semangat agama Islam sebagai anutan mereka yang mengajarkan nilai persamaan dan menjunjung martabat atau harga diri manusia. Sikap demikian terhadap penjajahan atau penindasan sesungguhnya sangat sejalan dengan Islam. Karena esensi Islam hadir kedunia melalui Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul justru untuk membebaskan umat manusia serta menegakkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan bagi siapapun manusia dan dimanapun tempatnya tidak terkecuali Bangsa Papua saat ini. Islam sekali lagi hanya, untuk menegakkan kebenaran dan keadilan.

Sebagaimana nilai asasi Islam di jelaskan diatas, idealnya dan ini menjadi kewajiban tidak hanya oleh Muslim Pribumi seperti Thoha Al-Hamid namun seluruh Muslim Papua yang merasa Muslim harus menyatakan kebenaran ini bahwa penjajahan adalah kata lain pencurian, perampokan atau exploitasi kekayaan alam milik Orang Papua oleh Indonesia seperti dilakukan PT.Freeport, British Petrolium di Bintuni (daerah Penduduk Muslim dari dulu), pencurian kayu (illegal logging), singkatnya semua kekayaan alam Papua adalah karunia Allah SWT, bagi Orang Papua harus kita pertahankan dari perampokan bangsa Muslim Indonesia ini, dan dilawan untuk di pertahankan. Muslim Papua harus melawan ini sebagai jihad fisabilillah. Sebab pengertian Islam secara generiknya sejalan dengan pengertian pembebasan atau kemerdekaan.

Islam Agama Tuhan

Bagi banyak kalangan masyarakat Papua, Umumnya menganggap bahwa Islam berarti Jawa atau Bugis-Buton-Makasar dan atau juga Ternate, singkatnya mereka yang umumnya berasal dari luar Papua, selain Kabupaten Fak-Fak atau Daerah Selatan Kepala Burung Papaua. Karena Muslim Papua berarti mereka yang berasal dari kebanyakan orang Indonesia yang Melayu Asia itu. Maka persepsi orang lalu Islam melegalisasikan ajarannya sebagimana kelakuan Muslim adalah salah dan ini berbahaya. Memang yang akan menjadi akibat parah adalah orang Papua di zaman penjajahan Indonesia atas Papua ini, kebanyakan kita memeluk dan beribadah bersama Muslim penjajah-dan menganggap Islam sama dengan Indonesia. Islam harus dibedakan dari suku bangsa, Jawa tidak selamanya Islam, tapi Jawa ada juga Muslim.

Anggapan demikian benar karena Muslim adalah mayoritas penduduk Indonesia yang berjumlah 250 juta jiwa itu atau 85% dari penduduk dan secara statistik adalah jumlah pemeluk agama Islam terbesar dunia. Dan sehingga memang, kenyataan di mana-mana dikota Papua didapati para "amber", pendatang, ini hampir seluruhnya Muslim atau mereka yang beragama Islam. Tapi harus dibedakan dan kita harus ingat bahwa Islam agama Tuhan, Islam agama diperuntukkan bagi umat manusia dijagat raya, tidak hanya, Indonesia yang mendholimi bangsa Papua dan juga muslim Papua yang ada didalamnya.

Lalu dimanakah kaitan Islam dalam mendukung proses pembebasan tanah Papua oleh Muslim Papua? Islam dimanapun wajib dan akan terus dihadirkan guna membebaskan manusia atas penjajahan, perampasan hak-hak asasi manusia, dan penindasan oleh bangsa atas bangsa lain. Lalu pertanyaan intinya sebagaimana judul tulisan ini, Adakah Islam Mendukung Papua Merdeka? Jawabannya 100% mendukung sebagaimana pengertian Islam dari "sana"-nya (baca; lauhul mahfudz), karena kemerdekaan adalah hak kodrati yang dijamin oleh Allah SWT, kepada setiap individu dan bangsa. Tapi kalau pertanyaan ini di tanyakan dengan, adakah Muslim Mendukung Papua Merdeka? Jawabannya ada dan tidak, karena jawabannya ada dan tidak, maka masalah ini harus didekati secara lebih dekat agar kita dengan secara lebih arif pula mengerti yang ada ini siapa mereka sebagai saudara dan yang tidak kita jadikan sebagai politic enemy bersama.

Mungkin bagi Muslim lain penulis dapat dianggap gegabah. Namun penulis berani mengatakan ini karena penulis tahu bahwa yang berpendapat kebalikan dari penulis disini adalah mereka yang tidak tahu Islam atau tidak belajar Islam selain hanya sebagai KTP yang tertera beragama Islam yang juga berarti yang dimaksud dengan Muslim itu. Karena jumlah penduduk Indonesia saat ini adalah yang terbesar dan mayoritas penduduknya beragama Islam di dunia maka penting di jelaskan disini, tentang perbedaan pengertian antara Islam dan Muslim mengingat Bangsa Muslim yang besar dunia ini dirasakan sedang menjajah orang Papua yang sesungguhnya juga sangat, sekali lagi sangat bertentangan dengan nilai-nilai kebenaran Islam yang agung dan mulia itu.

Namun hanya faktor kebetulan sajalah yang menjajah Papua saat ini adalah Muslim Indonesia, yang walaupun tidak sesuai dengan nilai kebenaran Islam yang melarang penjajahan itu. Sehingga orang seperti penulis sendiri yang baru belajar nilai ajaran Islam di Universitas menjadi tahu bahwa penjajahan Indonesia atas Papua sama sekali tidak ada kaitan sebagai menjalankan aturan Islam oleh Muslim Penjajah, Indonesia.

Islam dan Muslim berbeda walaupun berasal dari satu akar kata. Perbedaan Islam dan Muslim itu setidaknya dalam pengertian. Muslim sebagai kata benda yang berarti manusianya, sedangkan Islam sebagai kata sifat yang abstrak, berarti nilai. Sesuatu yang berdimensi nilai berarti juga sesuatu yang dianggap suci, sakral (keramat), yang berintikan ajaran-ajaran doktrin pokoknya bersifat transendetal, diluar jangkauan dari akal pikiran manusia yang terbatas. Misalnya menyangkut keadilan, kebenaran sebagai pokok ajaran intinya yang diharap dari para pemeluk agama, yang walaupun secara terus menerus manusia ingin mewujudkan keadilan, kebenaran itu.

Dalam pencapaiannya, manusia tidak pernah sangggup dan malah tidak pernah sampai. Bahkan sampai seluruh usia dihabiskan untuk mewujudkan ini, atau bahkan dari generasi kegenerasi manusia sepanjang hidupnya, hanya kebenaran subyektif, keadilan subyektif semata, kecuali terus menerus intrepretasi oleh para teolog sebagai inovasi doktrin ini ajaran agama belaka yang dibatasi oleh dimensi waktu dan tempat.

Wallahu'alam Bishowaaf.
---------------------

REAKTUALISASI NILAI-NIALAI PAPUA ASLI

A. Konsep dan Pendekatan Perjuangan Papua

Untuk menjawab ajakan diskusi saudara Henk Rumbewas, saya buat catatan khusus. Karena itu sebelum memasuki inti persoalan disini diawali dengan catatan sebagai jawaban saya sebagai respon tanggapan. Selanjutnya akan disusul kerangaka pemekiran saya sesunguhnya. Menjawab sebagai respon atas catatan koreksi darinya saya jawab sbb : Maka inilah jawaban sebagai hak jawab saya atas tanggapan itu.

Luar dari biasa, karena hemat saya agak semrawut, lalulintas di Ampera, Klofkamp, APO Kali dan lebih-lebih "Lingkaran setan" ABEPURA, Jayapura. Berdiskusi tanpa kerangka logika ketepatan berfikir yang konklusinya solusi lansung; Bukan kurang bisa sama sekali tidak didapatkan disini manfaatnya, sebagai keuntungan, jika yang dikedepankan adalah sektor pinggiran, bukan inti soal Papua hari ini. Lalu apa solusinya? Karenanya, tapi agak melenceng dari sesuatu yang lebih bersifat memberi manfaat.

Tapi ini latihan sekaligus "putar-putar otak", jadi taputar-taputar, atau "ekstace" jadinya anda dan saya sekaligus agar bagaimana rasanya orang mabuk anggur cinta, karena disini disuguhkan rajun dan madu sekaligus. Jadinya Kita Mabok, sambil menantikan kematian karena madu dan racun sekaligus. Kita mabuk cinta. Cinta formalisme, bentuk, kulit, tapi mengharap dikasihani, karena itu harus selalu damai, nyaman, tentram, sentosa atau istilahmu, "Peace". Sesuatu yang sangat dikritik habis oleh Friedrich Nietzsche sebagai "Bermentalitas Budak/Memelas dihadapan Tuan.

A. Nilai-nilai Papua Asli

Damai adalah mentalitas memelas yang sama sekali bukan budaya Papua yang sangat kaya raya, dan tidak ada sedikitpun dalam adat/tradisi dalam kebudayaan manusia Papua manapun, entah di Pulau, pinggir laut atau ditengah gunung Papua bermentalitas atau berbudaya "Damai" asing dipahami. Senjangaja diberi tanda petik, sebagai damai dalam pengertian dan yang hidup dalam budaya Papua berbeda sama sekali dari apa yang ditawarkan sekelompok minoritas orang Papua atas the silent majority, sebagai format perjuangan dalam menuju Papua Merdeka.

Tapi jika kenyataannya ini yang menang dan disuguhi dihadapan mayoritas budaya dan adat Papua. Maka manusia serta kekayaan alamnya Papua diarahkan oleh mereka sebagai sasaran perburuan yang sesungguhnya. Karena "Perjuanagan Damai" sebagai, hanya gagasan membawa etnis Papua dan wilayah Papua ke kawasan perburuan, (killing ground).

Maka dengan sendirinya gagasan dan penetapan "perjuangan damai" adalah jalan perusak (destroyer), karena membiarkan para killers, pemburu, yang berwatak melenyapkan (un-nihilisme) bukan saja adat dan budaya Papua, tetapi juga berarti etnis, serta kekayaan alam semuanya akan benar-benar menjadi punah dari peradaban umat manusia dimuka bumi sebagai karya maha agung Penciptaan.

Sungguh sama sekali tidak ditemukan yang bermentalitas dikasihani, sehingga yang dikedepankan adalah HAM, demokrasi, penegakan hukum. Karena semua itu adalah konsep asing/barat yang sudah telah merdeka. Karena itu bagi mereka yang paling penting adalah damai, sejahtera dalam negara berdaulat telah mereka kuasai. Hal demikian sangat tidak relevant apalagi cocok dalam adat dan budaya Papua yang asli. Tapi kalau mau tetap akan dipaksakan dengan rekayasa konsep asing maka hasilnya selalu saja tetap akan gagal dan kita saat ini menyaksikan hal itu pasca Kongres Papua ke II.

Didunia bangsa manapun sama sekali tidak ada yang pernah merdeka atau menuju kemerdekaan dengan cara damai, dalam pengertian kedaulatan dari unsur penindasan oleh kolonialis seperti apa yang kita hadapi di Papua Barat saat ini. Aktifitas seperti Munir, Adnan Buyung Nasution, jangan samakan dengan keadaan kita di Papua atau penegak demokrasi tulen Gus-Dur dari Ciganjur yang dibanggakan kaum minioritas dinegerinya Abdurrahman Wahid, adalah cocok bagi Indonesia, sebab Indonesia sudah merdeka. Mereka hanya memperjuangakan, jadi hanya memperjuangkan penegakan demokrasi dalam negara yang sudah merdeka yang bernama NKRI.

Tapi jika Papua pantaskah semua orang beraktivitas mendirikan LSM seperti mereka yang disebut-sebut oleh Henk Rumbewas diatas? Papua mau di jadikan sebagai daerah Zona damai, padahal tujuannya mau merdeka karena belum berdaulat oleh pengakuan dunia internasional? Pantaskah kita sibuk dengan rutinitas orang lain hanya menegakkan demokrasi, HAM, penegakan hukum di tanah yang sesungguhnya tidak damai? Kecuali hanya ketakutan dan kekerdilan jiwa para pemimpin Papua atau hanya mencari kekenyangan isi perut diri sendiri?

Papua punya HAM, demokrasi, dan penegakan hukum tapi bukan cara asing yang dicoba ditampilkan dan yang sedang dipraktekkan serta dipertontonkan oleh sementara pihak selama ini. Semua yang dicoba tampilkan adalah konsep asing, bukan cara dan budaya yang berarti kepribadian orang Papua yang sesungguhnya, yang selalu percaya pada diri dan kemampuannya sendiri.

Jika orang Papua tidak lagi percaya pada diri dan kemampuannya sendiri maka ini adalah alamat kematian bangsa dan budaya Papua sesungguhnya. Mereka para musuh asing telah berhasil membunuh budaya dan karakter/mentalitas orang Papua yang sesungguhnya tangguh-tangguh! Tidak memelas dan menyerah pada musuh begitu saja dengan kami damai, perjuangan damai. Apaan itu perjuangan damai? Konsep asing sajamo...!

Jika para pemimpin bermentalitas begini, maka tunggulah kehancurannya, jika dibiarkan terus begitu, tanpa mau dikreatifitasi dengan tantangan konteks kekinian yang harus segera direspon secara cepat. Daripada dicoba mempertahankan "Perjuangan Dami", dan terus berkutat disitu; Hasilnya: "Damai sejahtekah kini Tanh Papua sebagai Tanah Kanaan? Tuhan yang tahu jawabannya, jika demikian anda menjawab dan mengatakan; maka saya jawab, Tidak ada Tuhan yang sesungguhnya di Papua, selain Tuan-Tuan Papua sendiri!

Kecuali Tuhan hanya suatu perasaan orang-orang kalah dari kompetisi kehidupan duniawi kekiniaan, sehingga agama hanya sebuah tempat pelarian bagi orang-orang yang kalah. Sebagai hiburan semata-mata bagi perasaan yang memang kalah maka dikatakan oleh Karl Max Agama adalah Candu yang sangat berbahaya jika kita melihat segala sesuatu selalu dari sudut Agama.

B. Pembebasan Papua Adalah Rasionalisasi

Dalam suatu upacara kematian ada tradisi di kalangan suku Dani (orang Wamena), dengan kebiasaan memotong jari atau telingga, hakekatnya tidak baik karena menghilangkan sesuatu yang alami dari diri/tubuh, tapi nilai yang diajarkannya adalah bahwa; bagi mereka tidak ada hari esok/akhirat, karena itu tidak ada hari kebangkitan sesudah hari kematian. Manusia mati, ya selesai begitu saja, (sangat rasional bukan?).

Karena itu maksud dari cara negatif, namun bernilai positif dalam budaya memotong telingga, atau jari-jari tatkala ada sanak saudara yang meninggal adalah menandakan, bahwa tidak ada pertemuan kembali di lain waktu, sesudah kematian sebagaimana umumnya ajaran semitisme. Karena itu bawahlah pergi bersama sebahagian dari anggota tubuh ini, sebagai kenangan dari yang masih hidup dalam perpisahan yang abadi ini.

Karena itu rasanya lucu sekali kalau ada orang bertahun tahun menghabiskan waktu menuntut ilmu di unversitas masih saja menhgharap Tuhan datang memerdekakan Papua. Tidak malukah berhadapan dengan orang yang tidak pernah sekolah tapi sudah mencapai tahapan aukflaruung, englaitment? Sedang kita masih saja selalu irrasional? Dengan serta merta mengharap sesuatu yang tidak betul pasti? Utopia, berawal dari sini, kalau mentalitas para pejuang Papua M selalu kalau yang ada begini semua adanya. Bagaimana jadinya Papua nanti?

C. Damai sama dengan cinta

Dalam gurindamnya Frederich Nietche, pernah mengatakan begini : "Laki-laki dan perempuan memiliki rasa cinta yang sama, namun berbeda dalam tempo. Adalah sesuatu yang tidak pernah disadari yang berlangsung terus menerus dalam kehidupan manusia, mengapa diantara keduanya harus saling mencintai? ". Karena itu, maka orang yang lain berkata : " sex itu enak tapi lupa rasanya". E…h, sa bicara apa eh.. . ? Tra mengerti !

Saya mau cukupkan saja sampai disini, terimakasih, karena ini adalah persoalan sekitar masalah yang menurut saya sangat asasi. Soal pinggiran juga kita campurkan juga dalam diskusi ini, karena dengan Abang Henk Rumbewas, orangnya mengasyikkan tapi juga santun, karena itu saya menghormarmatimu, kawan! Sebagai sahabat. Enak jadinya kita untuk melanjutkan diskusi ini, karena alasannya agak berbobot. Mengingat Abang Rum ini tetap memancing untuk kita menjawab agak lebih serius dari yang sudah-sudah yang sudah dirasakan tak "tertahankan" lagi (runtuh) dimakan oleh pembaharuan pemikiran anak-anak muda dengan pemikiran "nakal" yang dirasanya menghawatirkan, sehingga jangan lagi ada Teys Eluay ke 2-3 sampai seterusnya Munirpun jadinya sama.

Jadi masalahnya : "Cuma realitas hidupnya dan aplikasinya tidak semudah yang diinginkan atau didambakan manusia". Berarti Saudara kita, Henk Rumbewas adalah tipe manusia pesimistik. Namun menginginkan hidup abadi, sesuatu yang bertentangan dengan konsep teologi monetheisme abrahamic yang selalu disebut-sebutnya sebagai konsepsi "ideal" dalam melihat konteks perjuangan Papua. Tapi bukankah ada Film yang berjudul "the single not the song", (penyanyinya bukan nyanyiannya) yang menggambarkan seorang bandit besar mengikuti keberanian seorang Pendeta, bukan kebenaran ajaran yang dibawakannya. (Gus-Dur; Membangun Demokrasi,1998).

A. Kesimpulan

Yang mengedepankan budaya Perjuanagan Damai Papua adalah yang memiliki mentalitas budak, menurut Frederich Nietche, karena itu hanya utopia belaka harap-harap Tuhan Merubah Nasib Papua, demikian kecaman Karl max yang komunis. Padahal adat dan Budaya Papua semisal dari Wamena tadi sangat rasional sebagai pencerahan kalau kita mau belajar dari mereka. Tapi kita selalu arogan, karena itu kita tidak mau belajar dari sekitar kita sendiri, akibatnya dependent mentalitas kita, bukan Tuan tapi Budak Militer Indonesia sebagai penjaga keamanan NKRI.

*** ***

AGAMA DAN PENJAJAHAN

Untuk membahas ajakan "rex kajian" (nama sebenarnya?), terus terang saya sudah menulis banyak sebagai tanggapan. Tapi ada serangan virus sehingga semua tulisan hilang begitu saja. Ini adalah sedikit dari cacatan yang saya buat, sebagai ganti dari tulisan yang sebelumnya secara agak panjang lebar saya tulis, namun langsung musnah bagaikan juga, budaya lokal Papua yang hilang begitu tergantikan oleh kebenaran agama.

Berbicara Missionaris, peran mereka cukup besar dalam artian positif dan negatif sekaligus. Peran positif para Missionaris sebagai transformator utama dalam membuka isolasi masyarakat suku terasing manapun dunia ketiga (Asia, Afrika, dan Amerika). Bagi kita orang Melanesia di Pasifik mereka membawa perubahan dari keisolasian dan keterasingan. Tapi peran negatif mereka menurut saya mereka adalah pelayan-pelayan Tuhan semit dan mengganti konsepsi agama suku.

Jasa-jasa mereka bagi suku-suku terasing tidak begitu saja diabaikan, sebaliknya adat istiadat terutama seni budaya dapat pula menjadi punah. Contoh masyarakat Teluk Cenderawasih Papua memiliki seni ukir yang sangat bagus. Masyarakat Sentani juga ukiran patung seninya melebihi keindahan seni patung yang kini dimiliki Papua dari Asmat. Namun sayang semua dimusnahkan, dihilangkan, demi kebenaran agama Kristen Protestan. Seorang Intelektual Papua pertama yang mendapat gelar doktor antropologinya dari Negeri Belanda: “pernah marah-marah atas peristiwa penghancuran budaya Papua oleh para Missionaris”. (Koenntraningrat, 1993).

Sebagai ganti dari religi asli orang Pasifik dihancurkannya itu kita diberi sekolah, ini jasa baik secara konkrit Missionaris: kalau tra begitu, Pace tra bisa jadi Gubernur, Bupati, Camat, DPR dll. Tapi karena ini, orang Papua, konsepsinyanya, nilainya, religinya, seninya, pahlawannya, idolanya, semua semua nilai genuin menjadi tergantikan. Begitu tiba-tiba orang Papua peduli dengan Yesus, Muhammad, atau Islam dan Kristen. Missionaris menggantikan semua konsepsi lokal dengan konsepsi baru bawaan mereka, yang juga sebenarnya telah terkontaminasi nilai lokalitas para pembawa. Karena itu Islam Jawa tidak sama dengan Islam Aceh. Islam Walesi akan menjadi berbeda dengan Islam Indonesia.

Untuk latihan intelektual (intelektual exercise), ada baiknya kita kaji kembali, apa itu kebenaran, apa itu kebaikan, bagi siapa, untuk apa, sejauh mana semua itu dampaknya bagi kita adalah kajian dengan tema model begini menurut saya bagus. Tapi saya tetap mengucapkan terimakasih kepada Missionaris yang lebih menghargai, dari pada memahaminya sebagai destroyer budaya atau adat suku. Mungkin cara mereka sopan dan santun untuk menghargai penduduk pribumi dunia manapun. Sebagaimana ungkapan santun berikut :

"Terimakasih kami telah memiliki benda-benda ini, karena mencintainya kami hendak meninggalkannya dengan memusiumkan di Wesagaput".

Dunia manapun memiliki, adat, suku dan tradisi, tanpa kecuali di kalangan masyarakat semit, yang sejak mula melahirkan, merima , dan menyiarkan serta memempopulerkan agama samawi diseluruh pelosok dunia, terutama tiga agama semitisme yakni Yahudi, Kristen dan Islam. Yang berarti juga agama anutan masyarakat kita, masyarakat Papua. Tapi agama demikian selalu dimana-mana diwataki oleh nilai lokalitas budaya setempat menjadi sudah, sehingga tidak lagi murni. Karena itu semurni agama apapun yang kita mau terima, selalu menjadi sudah terkontaminasi lokalitas nilai penyiar darimana dia berasal.

Tidak ada agama lahir di Eropa, Afrika, dan Amerika. Tapi agama lahir diantara pertemuan di tiga muara Benua dan peradaban dunia (Timur Tengah). Agama kemudian dibawa keluar dari tempat lahirnya, dibesarkan diluar, kemudian di siarkan oleh para missionaris. Baik Islam (Muballiqh, Da'i) atau secara individual dalam bentuk aktivitas dagang, Missionaris kristen utusan dewan gereja khusus) ke Eropa, Asia dan Amerika Latin dan Belahan Fasifik.

Missionaris bagus , baik, dan membenarkan ketika anda didalamnya, menjadi sebaliknya kalau anda bukan didalam. Dunia yang sering terus mengglobal kita tidak mungkin terus-menerus mempertahankan diri dalam keisolasian diri kita. Kita selalu sudah harus bersentuhan dengan nilai baru tanpa kita merencanakannya sendiri. Begitu tiba-tiba kita menjadi muslim, Kristiani adalah sesuatu yang tanpa pernah kita merencanakan atau kehendaki menjadi demikian adalah sesuatu yang tanpa kita sadari tapi berlangsung demikian. Kita tidak pernah mengerti mengapa demikian adalah suatu peryanyaan tanpa pernah kita bertanya.

Ada teman etnis Cina pernah binggung terhadap dirinya, katanya; "Bukan mau saya, kalau tiba-tiba saya lahir sebagai orang Cina”, tatkala mendapati dirinya di benci orang muslim Indonesia (pribumi). “Tapi kenapa mereka membenci saya?” atau “mengapa mereka tidak membenci Tuhan”? Karena alasannya saya menjadi etnis Cina dan Kristen Indonesia adalah kehendak Tuhan. Padahal ibunya atau ayahnya tidak pernah berhasrat dan mencita-citakan menjadi orang cina atau apapun. “Tapi mengapa orang-orang ini membenciku hanya lantaran , dan karena bukan lain tapi karena saya terlahir sebagai Cina yang sebenarnya tidak pernah saya rencanakan sendiri?".

Namun Cina indonesia menghadapi dirinya dibenci, diperkosa, dan lain-lain bentuk ketidak adilan minoritas dideritanya, hanya lantaran dia terlahir sebagai Cina di Indonesia. Adalah sesuatu hal yang tidak pernah dimengertinya namun pernah berlangsung pada masa pemerintahan Orde Baru.

Demikian ada teman dari Tim-Tim yang Muallaf, dengan berapi-api mengatakan bahwa dirinya menbenci tidak saja agama lama yang pernah ditinggalkannya, namun juga orang-orang, penganut agama lama yang ditinggalkannya ikut dibenmcinya. Membuat saya heran adalah yang benar dan baik apakah dirinya dan agamanya ataukah yang jahat dan salah adalah dirinya dan kelompoknya yang suka menyerang orang kelompak lain?
Kita tidak pernah mengerti tapi demikian manusia tanpa pernah mau menyadari berlangsung terus menerus, selalu saja ada dimana-mana termasuk disini, mungkin juga dalam diri kita.

*** ***