Terimakasih atas dukungan Tuan Tengku Ali Al Asytar dari Gerakan Aceh Merdeka (GAM), agar saya tetap Istiqomah (tetap pada prinsip), sebagaimana sebelumnya, pada prinsip "garis keras", tanpa kompromi terhadap semua unsur kolonialisme. Demikian juga sarannya agar saya tetap pada prinsip agama Islam (agama anutan mayoritas rakyat Aceh, dimana tempat lahir dan pengabdian hidup perjuangan Tuan Tengku Ali Al Asytar, dari GAM).
Karena hematnya, saya "mungkin", mulai kendor atau moderat bersuara pada penjajah kecam yang selalu datang ke negeri kami hanya untuk membunuh dan mencuri harta kekayaan kami, bangsa West Papua. Malahan menurutnya terma yang tepat pada model kolonialisme di Papua adalah bukan lagi pencuri, tapi malah lebih tepat dikatakan sebagai “perampok”! Karena apa yang dilakukan kolonialis bersama negara kapitalis seperti Amerika Serikat (PT Freeport), Inggris (PT Britis Petrolium) dan lainnya, atas kekayaan alam Papua yang memang sangat kaya raya, adalah suatu tindakan pencurian atau perampokan yang tanpa malu-malu didepan mata bangsa Papua Barat sendiri.
Atas sarannya dalam korespondensi pribadi dalam milis internet itu, maka tulisan ini dipersembahkan sebagai jawaban. Ada satu hal lebih penting yang harus saya perhatikan yaitu iman Islam saya. Memang saya akui hal itu, sebagaimana juga dikatakan dalam kitabnya (ihya “ulumuddin) oleh Imam Al-Ghazali bahwa kadar iman seseorang kadang bisa naik kadang bisa turun. Memang kadang saya sering, tapi malah harus bagi saya, walau itu hanya kesan saya keluar dari iman (kepercayaan dogma agama), dengan lebih banyak "memepercayai" serta mendahulukan Adat, anutan lebih banyak masyarakat saya, terutama nilai-nilai Adat di Lembah Balim Wamena Papua. Atas sarannya ini maka saya jawab bahwa sesungguhnya antara adat dan agama harus seiring sejalan. Setiap agama yang bertentangan dengan adat secara otomatis ditolak oleh adat. Agama yang saya dan sebahagian masyarakat saya anut ada lebih banyak persamaan dengan nilai adat (Kaneke), lihat contoh persamaan itu sebagaimana bagian akhir tulisan ini.
Tapi saya akui bahwa sebagai manusia yang selalu dan selamanya lemah sekaligus berpotensi benar dan keliru, (alinsanu makanul khoto’ wannisyan, Al-Hadits), semoga saran dan harapannya ini menambah kuat tali kekang iman saya (iman Islam), yang kadang mau ta'lepas dari hati. Namun saran lainnya bahwa saya tetap menempuh jalan lurus (Siraa thal mustaqiim?), jalan tegas, pada penjajah tanpa kompromi akan tetap saya perhatikan. Tapi soal sikap saya terhadap kolonial, entah siapapun dan darimanapun kolonialisme itu, saya tetap bersikap tegas, pada garis keras tanpa kompromi, dalam hal idealisme. Bagi saya, sekali lagi, tidak ada kompromi sedikitpun pada kolonialisme, apa dan siapapun kolonialisme itu.
Tapi dalam pemikiran saya boleh menulis secara sebaliknya. Sebab bagi saya, alam pemikiran sebagai bagian dari politice education, terlebih dahulu harus dibebaskan adalah proyeksi gaya penulisan saya. Dan memang saya menulis demikian (maksudnya, moderat) untuk proyek latihan pemikiran (intelectual exercise) masyarakat saya, Rakyat Papua Barat. Namun itu tidaklah berarti sikap mundur, tapi moderasi, sintesa, bukan mengakui kekalahan, sama sekali tidak! Sebab yang menyemangati saya bersikap demikian adalah semangat Adat Budaya Papua dan ajaran agama Islam sekaligus yang saya anut dan ("harus") saya imani (qulil haq walau kaana muron;) Artinya : “Katakanlah walaupun itu pahit”. Nabi bersabda demikian.
Kalau saya lebih berpatokan pada Adat Budaya Papua, bukan agama Islam yang saya anut, alasannya karena agama Islam tidak anti adat (‘adat, kebiasaan), justeru islam sangat akomodatif dengan kebiasaan yang berlaku di suatu kaum, dan hukum Islam harus diputuskan sesuai dengan nilai adat berlaku setempat. Dalam ilmu fiqih kajian tentang ini masuk dalam kategori ‘urf dan ihtihsan almursalah yaitu hukum diterima dan dijadikan perbendaharaan dalam hukum Islam, apabila hukum adat tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ‘Aqidah Islamiyyah demi kebaikan bersama umat manusia.
Ada kesan saya dahulukan Adat Budaya Papua itu karena dalam hukum Islam sendiri sangat menghargai aspek lokalitas dimana Islam datang hadir disitu menyesuaikan dengan hukum yang berlaku setempat yakni ada aspek yang disebut dengan ‘urf dan ihtihsan itu tadi. Maka menulis soal semangat adat, maka sesungguhnya hal yang demikian tidaklah bertentangan dengan Islam. Disamping itu yang paling penting menurut saya, dan ini sesungguhnya secara intrinsik pesan utama Al-Qur’an mau dimaksudkan bahwa nilai utama agama Islam yang jauh, di “sana”, di "langit" mau ditarik dan dibawa turun ke bumi, agar lebih dekat dan akhirnya bagaimana dibumikan di bumi West Papua.
Saya mencoba mengambil kebaikan nilai agama tapi bukan pada tataran simbol, bentuk, yang formalistik belaka, yang akhirnya menjadi kaku dan rigid. Hal demikian sebenarnya esensi pesan dan tujuan utama Islam sesungguhnya hadir dimuka bumi. Saya mengambil semua kebaikan agama, agama apapun. Sebab Islam sendiri adalah agama kelanjutan dari agama-agama sebelumnya (Yahudi dan Kristen). Apalagi bukan hal baru, di Amerika Serikat konstitusi negara yang dirumuskan oleh Thomas Jeferson yang beragama Katolik dalam mayoritas rakyat Kristen Protestan yang berlaku saat ini dan dijadikan standar nilai yang termasuk didalamnya semangat liberalisme, demokrasi dan HAM adalah semanagat nilai kebaikan semua agama (deisme), utamanya Agama Kristen Protestan dan nilainya disebut “Protestanisme ethic”.
Saya mencoba menghadirkan nilai Adat Budaya (Kaneke) sebagai standar nilai juga sebenarnya, didalamnya juga disetujui nilai agama manapun. Usaha saya adalah mengakrabkan tidak dulu simbol tapi nilai kebaikan universal (rahmatan lil'alamin)-nya dari agama manapun. Misalnya kalau salah satu agama samawi yang saya coba hadirkan adalah Islam substansif, bukan formalististik atau juga scripturalistic (kutipan belaka). Dengan demikian kita ambil contoh Amerika bahwa yang dijadikan standar nilai adalah kebaikan semua agama, bukan konservatisme dan simbol agama yang primordialistik dalam kemajemukan masyarakat Papua.
Sebagai akibatnya, diantara kiatnya adalah, Adat–Budaya serta HAM dan Demokrasi harus didahulukan terhadap agama apapun di Papua Barat. Masyarakat tidak boleh diasingkan dari budaya mereka oleh dominasi agama. Usaha kontekstualisasi nilai-nilai kebaikan agama, agama apapun pada akhirnya tidak asing, demikian juga Islam tidak disikapi sebagai asing. Dengan demikian orang merasa antara kebaikan agama dan Adat budaya lokal tidak ada jarak, tidak asing. Karena agama apapun esensi pesan sesungguhnya adalah pembebasan, kemerdekaan, kebaikan, kejujuran, keadilan, kemanusiaan. Demikian juga harusnya wajah Islam mau ditampilkan di Tanah Air tercinta Papua Barat.
Agama Islam yang memang diantara salah satu tujuan utama kehadirannya di dunia adalah rahmatan'alamin, kasih sayang bagi seluruh alam. Hal ini tidak berbeda dengan agama Kristen, kehadiran Yesus Kristus terkenal dengan konsep Kasih, yang kemudian di dunia Barat dijadikan sebagai standar nilai, misalnya Amerika dengan nilai Protestan ethic-nya. Tapi semua nilai kebaikan dari agama dipungut Amerika, konstitusi negara itu mencerminkan hal ini, tapi tidak hanya dari agama Protestan atau sesuatu yang baik dari agama Protesten dengan sendirinya juga ajaran kebaikan semua agama.
Sebenarnya banyak refrensi dalam khasanah pemikiran para intelektual muslim pada masa lalu telah mencoba menghadirkan Islam dalam wajah penuh toleran, akomodatif, adaptif, adalah semangat para ulama tasawuf. Mereka mencoba menghadirkan Islam tidak sebagaimana ahli syari’ah yang kaku dengan hukum formalistik. Bagi para ulama tasawuf yang paling penting adalah nilai, esensi Islam. Islam dihadirkan bagaimana substansinya lebih penting bagi mereka daripada legal formalistik, hanya bungkusan, syari’ah. Hal ini terlihat dari misalnya Syekh Asyilbi, Syekh Jalaluddin Ar-Rumi, (kitabnya Syamsi At-Tabriz, Fihi Ma Fihi), juga Ibnu Arabi dengan kisah Laila dan Majnun, Mansur Al-Hallaj dengan konsep Wahdatul Wujud yang harus mati diatas tiang gantungan sebagai Yesus Muslim, Robiatul Al-‘Adawiyyah (seorang sufi wanita), dengan konsep mahabbah, cinta-nya.
Mansur Al-Hallaj bahkan harus mati diatas tiang gantungan dengan mempertahankan konsep "kasih" yang dimilikinya itu dihadapan kekuasaan para ulama syari’ah yang rasionalistik. Demikian juga sebagaimana Yesus Kristus, yang dia sendiri adalah penembus dosa umat manusia dan hadir kedunia untuk memebebaskan dosa manusia.
Demikian semua agama semit, menampilkan diri, benar-benar dirasakan manfaatnya, termasuk bangsa West Papua. Rosulullah SAW, sendiri bersabda bahwa : “Tidaklah aku ini diutus, kecuali hanya untuk menyempurnakan akhlaq”. (Wama bu’istu liutammima makarimal akhlaq, Al-Hadits). Esensinya bahwa keutusan atau pesan kehadiran Nabi Muhammad SAW, sebagi nabi terakhir (khotamunnabiyyin), pelanjut dari Nabi sebelumnya seperti Yesus Kristus (Nabi Isa AS dll) adalah menyempurnakan moral (akhlaq).
Kalau jika yang didahulukan adalah simbol, maka agama apapun akan menghadapi sikap anti pati dari Adat (kaneke), adat budaya manapun manusia didunia, dimanapun tempatnya tak terhindarkan menjadi coas, kacau, padahal bukan itu tujuan agama sesungguhnya. Tujuan agama adalah kemerdekaan, pencerahan, pembebasan, keadilan, kebenaran dan kedamaian. “Kedamaian” adalah nama agama Islam. Islam artinya kedamaian. Tapi umat Islam banyak terjebak pada simbol, syari’ah, bungkusan. Bukan Islamnya tapi gambarnya. Bukan damainya, tapi aspek kategorisnya. Saya mencoba mengedepankan isi dari pada bungkusan, substansi daripada simbol. Jika sebaliknya maka hasil yang didapati adalah sikap antipati, saya menghindari hal yang demikian dan itu yang penting dilakukan oleh semua agama di Tanah Air Papua.
Saya lebih mengutamakan suatu nilai di luar dari Agama Islam, mungkin, ada kesan demikian, apalagi membaca tulisan saya terlampir ini (“Konsep Baru Perjuangan OPM”), saya jawab ya, harus demikian dulu, memang! Saya harus, misalnya lebih mengedepankan Adat dan Budaya Papua dulu, itupun juga sesungguhnya tidak bertentangan dengan agama manapun termasuk Islam, dan nilai kebaikan agama apapun. Jika ada unsur dari agama yang bertentangan dengan adat (kaneke), didalamnya patut diduga ada perang (pertarungan) nilai menghebat yang tidak nyata, sebagaimana watak itu sebagai akibatnya moralitas suatu bangsa runtuh. Demikian jugakah yang terjadi dan nyata pada bangsa West Papua dewasa ini? Belum ada penelitian tentang ini, tapi patut diduga watak agama yang intolerans terhadap nilai-nilai lokal misalnya Kristen Protestan Barat yang membumi hanguskan nilai Adat-Budaya lokal sangat bertanggung jawab atas runtuhnya moralitas bangsa Papua.
Dewasa ini nyata terlihat oleh akibat watak agama samawi yang ekspansionis menyebabkan orang Papua goyah dalam menghadapi hidup didunianya sendiri, deprivasion, dislocation dan teralienation. Orang Papua tercerabut dari akar-akar budaya dan diri mereka. Orang Papua sebgaimana dikatakan oleh Dr. Phil Erari, menjadi manusia aneh, karena mereka tidak lagi menjadi diri mereka sendiri, tapi berfikir, berkehendak, berbicara semua kehendak asing. Orang Papua berfikir dan berbicara, tidak dengan pikiran dan bahasa sendiri, tapi berfikir dan berbicara asing misalnya mereka berbahasa Melayu bukan Melanesia/Papua dalam pergaulan publik sebagai salah satu contohnya.
Mereka menjadi makhluk aneh di panet bumi ini, misalnya dalam pembebasan tanah airnya sentiment yang dibangun adalah sentiment agama yang sesungguhnya kalau disadari adalah asing bagi Papua malah itu menghancurkan budaya dan adat Papua. Perjuangan pembebasan Tanah Air Papua yang diperjuangkan oleh para tokoh-tokoh pejuang Papua bukan kebutuhan Papua tapi diantaranya kebutuhan Agama Protestan bagi sarjana Kristen, kebutuhan Islam bagi sarjana Muslim, singkatnya perjuangan lebih sebagai perjuangan kebutuhan Yesus bagi Kristen dan Syari’ah bagi Islam. Bukan genuin kebutuhan membebaskan Tanah Air Papua. Orang Papua telah dicekoki konsepsi asing, mereka dijauhkan dari adat-budaya, religi asli, dan diri mereka sendiri oleh hegemoni watak ekspanionis agama demikian.
Papuanisasi Nilai Baru
Sabagai halnya HAM atau demokrasi yang berdimensi secular sebagai nilai baru di Papua, nilai-nilai baru dari agama juga, agama apapun di Papua Barat berhak tumbuh dan berkembang asal tidak membumi-hanguskan Budaya Papua. Karena itu harus dikreatifitasi dengan pemikiran oleh para pemuka masyarakat agar bagaimana mau dibumikan di Papua. Sehingga ada kearifan lokal dalam usaha transformasi nilai baru.
Aspek yang mau dipribumisasikan diutamakan adalah Adat-Budaya lokal berhadapan dengan nilai-nilai baru secular maupun agama manapun. Demikian harus di utamakan para tokoh pejuang pembebas Tanah Air Papua. Oleh sebab itu para transformator tidak boleh memaksakan konsep asing secara mentah bulat-bulat begitu tanpa dijinakkan dulu dengan nilai sendiri yang menyebabkan orang Papua kehilangan jati diri dan tercerabut dari akar budaya dan tradisi mereka sendiri.
Usaha mendahulukan Adat dari nilai baru lebih baik misalnya agama plus HAM dan demokrasi secular di Papua akan melahirkan sinkretisme sebagai dampak negatifnya. Agama harus diwarnai oleh nilai lokalitas yang genuin. Usaha akulturasi dan inkulturasi demikian sebenarnya sama saja menaklukkan nilai Adat lokal yang pada akhirnya mau dikalahkan. Tapi itu lebih baik akibatnya dari pada nilai baru yang resisten dengan sosial budaya lokal yang mengalienasi. Tradisi agama yang kekuatannya pada sciptural (kitab tertulis, Injil dan Al-Qur’an), tak terbendung oleh apapun kekuatan nilai lokal pada akhirnya (Ulil Absar Abdallah, Taswirul Afkar, 2003).
Hanya yang mau dihindari sekarang adalah jangan sampai terjadi shock cultur yang diantara dampak negatifnya adalah masyarakat lokal tercerabut dari akar budaya dan diri mereka sendiri. Apakah nanti agama atau adat akan mewarnai kepemelukan keagamaan itulah yang harus dibersihkan adalah masalah tersendiri nantinya. Sebagaimana pola pembagian proses Islamisasi, Taufik Abdullah, ada empat pola yaitu : Pertama, Pola Aceh yang dari perkampungan sehingga Islamisasi menyeluruh sehingga muncul pameo :"Aceh Serambi Mekah". Islamisasi Aceh tuntas.
Kedua, pola Sumatera Barat, sehingga memunculkan perang Paderi yang tidak berkesudahan, dan hanya bisa direlai atas campur tangan Belanda, tapi itu hanya dapat menghentikan perang saudara, bukan menyelesaikan masalah, sehingga Pameonya : "Adat bersendikan Syari'ah dan Syari'ah bersendikan Kitabullah". Lalu ketiga, model Jawa dan Gowa, Selawesi Selatan. Di Sulawesi Selatan Kerajaannlah yang memiliki mandat lebih dalam proses Islamisasi, sehingga adat dan budayanya secara simbol terislamkan. Sedangkan pola keempat, pola Jawa yang lebih bercampur-baur antara nilai lokal pra Islam (sinkretisme) dengan adat dan budaya sebelumnya, termasuk agama Hindu dan Budha bercampur baur.(Gus-Dur, Membangun Demokrasi, 2001).
Lalu bagaimana dengan Bangsa West Papua idealnya nanti? Biar nanti sejarahlah yang akan membuktikan dan berbicara sendiri nanti, apa pola kecenderungan itu nantinya. Kewajiban kita hanya mempertahankan Adat-Budaya dari penjajahan budaya asing secular baru misalnya HAM dan demokrasi atau oleh seperti agama, agama apapun. Sebagai orang Papua, saya tidak ingin semua nilai baru asing menghegemoni dan akibatnya masyarakat lokal dijauhkan dari diri mereka sendiri dan tercerabut dari tradisi aslinya.
Sebagai bagian komponent Adat dan Budaya Papua, usaha pemikiran yang saya mau tawarkan disini adalah usaha bagaimana memberi nilai baru dan asing (baca nilai agama dan nilai secular) dengan warna, watak dan bentuk nilai dengan nilai lokal (asli) Papua. Karena itu harus diberi “dandanan”, bungkusan, oleh nilai lokal Papua agar masyarakat tidak diasingkan. Nilai baru dan asing yang telanjang bulat datang ke Papua harus diberi baju dan dipakaian khas batik Papua indah agar cantik menawan bagaikan keindahan burung cenderawasih.
Namun sebagai Muslim ---walau saya telah menjadi icon Quardian dari adat dan budaya Papua ---yang diinginkan adalah pola Aceh, hanya, masalahnya tidak mudah, pada masa seperti sekarang ini dengan banyak dominasi nilai secular Barat juga Asia-Indonesia yang didalamnya Islam sinkretisme ala Jawa. Karena itu Islam atau Kristen harus menyesuaikan diri dengan nilai lokal sebagai sesama unsur nilai asing dan baru dalam Adat dan Budaya Papua.
Itulah masalahnya, oleh sebab itu, apalagi ditambah lagi dengan hegemoni budaya Western (Barat) yang berlangsung sekarang tidaklah mudah, memastikan pola mana yang akan menjadi kecenderungan nantinya. Tugas para transformator (didalamnya para da’i dan pendeta) wajib menampilkan nilai kebenaran dan kebaikan agama universal. Oleh sebab itu banyak aspek adat dan Budaya Papua yang sama dengan Islam, sebagai pintu masuk untuk menyapa. Contoh misalnya; Konsep Budak.
Dalam Islam apabila dibulan puasa seseorang melakukan hubungan intim (hubungan kelamin suami-isteri), hukumannya harus bayar fidyah, diantaranya membebasakan budak. Ini artinya Islam hadir dimuka bumi sesungguhnya mengeyahkan perbudakan dari muka bumi. Konsep demikian saya tidak tahu kalau ada dalam agama lain. Bahkan agama di bawah oleh Eropa mengenalkan adanya konsep perbudakan. Hal demikian (konsep perbudakan) tidak dikenal dalam adat dan budaya Papua.
Oleh sebab itu seorang kepala Suku dapat saja beristeri banyak (Islam dibatasi Nabi SAW, hanya 4 isteri saja, dengan mengharamkan nikah mut'ah bagi sunni saja?), dan hal yang demikian banyak dilanggar orang West Papua. Mereka lebih taat Adat, artinya mereka (orang West Papua), banyak melanggar dan beristeri lebih dari satu yang sesungguhnya bertentangan dengan Agama Barat-Eropa. Adat Papua mengajarkan kami, bahwa kedudukan anak, entah dari isteri pertama atau isteri keberapa tidak dipersoalkan sebagai anak dari isteri utama, sehingga kedudukannya tetap istimewa. Dari isteri manapun semua anak, apalagi anak lelaki dia berhak mendapat posisi istimewa sebagai pemangku adat.
Lalu yang menjadi masalah adalah persepsi orang Papua dalam hal kedudukan anak. Kalau ajaran agama lain misalnya dan hal demikian sampai hari ini pemahaman dominan dalam teologi lain bahwa : Tatkala Nabi Ibrahim AS, sebagai kakek dari bangsa semit dengan memperanakkan putranya dari isteri Siti Sarah, yaitu Nabi Ishaq AS. Bagi teologi lain kedudukannya istimewa, sebab dia lahir dari rahim isteri pertama yang bukan budak.
Berbeda dengan kakeknya Bangsa Arab Qurays yaitu Nabi Ismail AS. Dalam penafsiran umum (agama umum West Papua yang diperkenalkan Missionaris Eropa-Barat), kedudukan Nabi Ismail As yang kelak menurunkan qobilah Qurays yang kemudian melahirkan Nabi Muhammad SAW, dianggap inferior (rendah). Atau bahwa Rosullah SAW, dianggap sebagai keturunan budak (Siti Hajar). Bukan sebagaimana Ishaq AS, yang keturunan Siti Sarah, isteri pertama Nabi Ibrahim AS yang hanif itu.
Mengapa persepsi umum demikian? Ternyata agama anutan umum di West Papua yang dibawa datang dari Jerman dan Belanda adalah agama yang sudah di Romawikan, Konsepsi budak adalah konsep orang Yunani Eropa. Kita ingat Filosof Plato yang hampir dijual sebagai budak kalau tidak ditebus dan dibebaskan oleh temannya atau muridnya (Frans Magnis, 1997). Artinya bahwa Kristen di Papua banyak hal seperti contoh diatas bahwa bertentangan dengan budaya West Papua. Berbeda dengan nilai asli Papua yang lebih demokratis. Karena kedudukan dalam adat Papua yang menggunakan nama belakang sebagai (fam), yang diutamakan adalah anak laki-laki dan nasab dihitung dari ayah.
Bila isteri pertama sampai isteri keberapa tidak dapat memberikan anak-laki-laki yang akan melanjutkan nasab, seseorang dapat saja kawin berapa saja, dan bila dapat anak laki-laki bukan dari isteri pertama kedukannya sama sekali bukan sebagai anak budak.
Hal lain yang juga mungkin kejutan bahwa dalam alam pikiran (Adat Budaya- Kaneke) Papua, misalnya di Lembah Balim yang menjadi simbol sesembahan adalah batu hitam (axe). Batu ini dimiliki semua lembaga Adat (Kaneke) di Jayawi jaya. Batu ini sebenarnya adalah sama saja dengan hajar aswad. Lebih mendekati simbol batu hitam (hajar aswad punya Islam), dari pada lain. Walau dalam Islam hajar aswad yang banyak diciumi ribuan umat Islam dunia itu bukan obyek sembahan.
Bahkan penting diketahui bahwa; humanisme adalah dasar ajaran kaneke (adat). Manusia keluar dari satu tempat dan tersebar dimuka bumi (lihat misalnya dalam, “Nasoinalisme Perspektif Budaya Papua” dan “Kebudayan Jayawi Jaya” tulisan bagian 61 dan 62, hlm, 216 dan 220 dalam buku ini). Kejadian manusia, lebih jauh saya ingin sampaikan disini bahwa di Papua ada konsep manusia sebagai satu keturunan apapun warna kulitnya. Dalam budaya paling asli di seluruh West Papua dan Papua Timur mengakui ini. Semua manusia berasal dari dalam Goa dan tersebar keseluruh muka bumi. Sama juga dengan konsep Nabi Adam (ajaran genesis bukan?).
Lebih dari semuanya bahwa konsep Allah satu-satunya sebagai Tuhan ada dalam adat dan budaya Papua. Adakah lain selain Islam yang mengakui konsepsi Tuhan satu (tauhid), yang sesuai dengan budaya Papua? Saya sangsi, karena itu saya rasa Islam ada banyak kecocokan dengan budaya Papua. Hanya masalahnya bagaimana kita menyapa masyarakat adat, dari pintu mana kita masuk menyapa persamaan itu. Saya lebih cenderung ke adat daripada simbol Islami yang hanya mendapatkan sikap antipati.
Lalu menyangkut hijrah Nabi ke Habasyah, Etiopia, (negeri Kristen yang sama warna kulitnya dengan bangsa West Papua), terlepas apakah Rasulullah SAW, ada hubungan apanya dengan bangsa negeri itu. Yang pasti dalam Agama lain Islam tidak ada kedudukan istemewa sebagaimana Bilal Bin Rabah, Luqmanul Hakim yang menjadi nama Surat Alqur'an dan lain sebagainya. Islamlah yang lebih banyak kecocokan dengan budaya Papua. Demikian dulu, ada banyak ingin disampaikan hanya waktulah yang mencukupkan disini.
Wallahua'lam bishowab;
*** ***
Kebebasan, persamaan, keadilan dan kemanusiaan untuk menentukan nasib sendiri sebagai bangsa berdaulat merdeka
Senin, 05 Mei 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar