Bagian Keempat
STUDY AGAMA DAN BUDAYA
A. Pendahuluan
Sebelum ini saya sering menulis "keras", misalnya artikel yang berjudul: "Indonesia Pencuri dan Pembunuh". Karena itu wajar kalau kemudian saya dikelompokkan dalam kelompok "garis keras". Kelompok "garis keras" adalah julukan umum kelompok perjuangan bersenjata TPN dan OPM yang umumnya terdapat di hutan-hutan (rimba raya) sepanjang Penungan-dan Pesisir Papua. Kelompok ini dikenal umum sebagai TPN/OPM "garis keras". OPM dan TPN di Rimba Raya, yang sering ditakuti TNI/POLRI, dibawahnya ada kelompok DEMMAK (Dewan Masyarakat Koteka). Seperti diduga dari namanya, umumnya para anggota DEMMAK adalah masyarakat "Koteka", Pegunungan Tengah Papua (PTP).
Bagi OPM dan TPN di Rimba Raya, perjuangan dan perlawanan kemerdekaan dan pembebasan Papua untuk berdaulat penuh, harus ditempuh dengan peperangan untuk mengusir penjajah. Demikian juga dengan pendirian penulis selama ini menunjukkan hal ini. Sebab yang demikian itu lebih dekat pada nilai adat dan budaya yang melekat pada diri kami yang adat-budayanya itu memang perang sebagai sendi dari kehidupan dan keagamaan. Secara cultural, penulis tidak terpisahkan dari kelompok masyarakat ini. Sehingga ekspresi yang kemudian terlihat dalam tulisan saya selalu masuk dalam kategori kelompok"garis keras".
Kenapa demikian? Karena apa yang dirasakan mereka sebagai luka, juga luka bagi saya. Apa yang dirasakan sebagai kesedihan, kekalahan dan terusir dari tanah dan kampung halaman, juga dirasakan oleh saya sebagai pengghinaan oleh penjajah. Semua kemenangan, kesenangan, kegembiraan juga kemenangan, kesenangan kegembiraan bagi saya. Sebagai suatu unit suku dan marga saya tidak dapat terpisahkan dari semua apa yang dialami. Secara emosional kami diikat oleh satu semangat, yaitu semangat Kaneke atau Adat-Budaya. Kami disatukan oleh semangat orang gunung, masyarakat koteka dan berbagai stigma lainnya yang bersifat negatif maupun yang bermakna positif.
Lalu mengapa kini ada perubahan sikap saya? Malahan saya seakan bersikap melunak (moderat) yang sesungguhnya bukan karaktek kami, orang Papua, orang gunung, masyarakat koteka, yang indentik dengan kelompok "garis keras"? Bahkan saya sekarang seakan sudah tidak ada gigi untuk menulis "keras", malah sebaliknya lebih akomodatif dan moderat? Apalagi diperhatikan artikel terakhir saya bisa dikatakan oleh kaum saya, "kaum koteka" di PTP: 'Kau sudah tidak seperti yang dulu lagi', untuk meminjam judul lagu nostalgia, Pance Pondaag.
Mungkin ada rasa penasaran para pembaca yang budiman, bahwa saya sudah melunak terhadap penjajah, entah siapun penjajah dimaksud disini. Hal ini jika diamati dari tulisan saya yang lebih menekankan pentingnya aspek domokrasi dan HAM dalam perjuangan OPM. Saya malah bisa di tuduh asal main tabrak, tanpa ada peringatan lampu kuning dan langsung menulis arti pentingnya demokratisasi gerakan perjuangan OPM. Bahkan memasukkan kelompok lain yang selama ini "dianggap" secara nyata-nyata sebagai bagian tak perpisahkan dari kekacauan; pembunuhan, perampasan, penindasan, penjajahan dan penghinaan harkat dan martabat kemanusiaan orang Papua untuk turut ambil bagian dalam pergerakan perjuangan Papua Merdeka.
Kepada mereka, (“amber dan muslim”), saya dan masyarakat suku saya, "masyarakat koteka", saya anjurkan untuk bersikap moderat. Hal ini misalnya terlihat dari tulisan terakhir berjudul : "Membangun Konsep Baru Perjuangan Papua Kedepan". Bahkan lebih jauh saya seakan-akan menarik gerbong kereta yang isinya “amber” lagi muslim dan membawa mereka masuk dalam perjuangan kemerdekaan OPM. Dengan demikian kelompok Muslim pendatang (amber), untuk ikut serta ambil bagian dalam apa yang dinamakan perjuangan Papua Merdeka.
Atas semua pertanyaaan atau lebih tepatnya rasa penasaran semua ini, maka perlu diklarifikasi disini bahwa saya sama sekali tidak berubah, saya tetaplah saya, sebagai yang "garis keras", orang gunung, masyarakat koteka dalam kesatuan wilayah PTP. idealisme saya tetap bahwa apapun dan bagaimanapun Papua Merdeka adalah yang utama dan yang terutama. Demikian juga dengan sikap dan prinsip saya bahwa tidak sedikitpun dalam diri ini ada yang berubah. Bagi saya bahwa musuh utama yang menjadi prioritas untuk kita usir dari Tanah Air Papua Barat adalah penjajah siapapun penjajah itu.
Juga bagi saya Penjajah dengan konsep-nya adalah musuh yang menjajah kita Bangsa Papua Barat. Maka kita, orang Papua semua wajib melawannya, apapun perlawanan itu termasuk dengan perlawanan bersenjata. Jadi pertanyaannya adalah: kamong Papua, takutka... sama penjajah? Ah, penjajah saja mo...bukan barang besar, dorang negara terbelakang juga mo…, sama deng katong juga secara peradaban sciance dan tekhnologi. Masalahnya tinggal bagaimana kita mengusirnya dari Tanah Air kita Papua Barat, itu saja yang kita belum bersepakat bersama dan saat ini kita terus mencari persamaan persepsi menuju mengarah kesana.
Penjajah yang datang menjajah Bangsa Papua Barat yang dialami kita semua adalah usaha orang Papua semua tanpa kecuali, agar bagaimana mengusir penjajah bersama kapitalismenya yang menghina kita sebagai sebuah Bangsa dan Negara Papua Barat yang berdaulat adalah pemikiran dan perhatian kita bersama. Disamping itu diatas sudah disinggung bahwa, kenyataan, bahwa saya baik secara cultural dan emosional tetaplah orang Papua.
Secara primordial (pembawaan sejak lahir) kita satu dan sama dalam perasaan ikatan primordialisme, kita sebagai masyarakat dalam satu kebudayaan, kebudayaan PTP dan akhirnya juga kebudayaan Papua. Karena itulah yang mengikat kita bersama nasib dan semangat perjuangan membebaskan diri secara bermartabat, dan bahwa kita membenci musuh-musuh, penjajah yang datang menaklukkan negeri kita Papua Barat, menyebabkan kita terhina diatas tanah air kita sendiri yang kaya raya dimata bangsa lain.
B. Issu Islamisasi
Saudara-Sauraku kaum Kristiani sangat menderita oleh akibat isu "islamisasi" yang meresahkan, dan itu menghawatirkan bagi mayoritas penduduk Papua sebelumnya sudah menerima Injil. Kelompok muslim dengan “dukungan pusat”, membangun sekian ribu masjid, bahkan hal itu di pemukiman mayoritas kaum Kristiani. Demikian itu terbaca misalnya dalam buku Dr. Benny Giay, (Gembalakanlah Umatku, 1997), dan terakhir dalam buku Sendius Wonda yang berjudul ; (Tenggelamnya Ras Melanesia, 2008).
Proyek penjajahan oleh pusat dengan kedok kebenaran agama, sebagai bentuk lain penjajahan budaya dan adat Papua begitu menghebat. Demikian agaknya dirasakan hal tersebut menggejala di seluruh pelosok Papua, terutama di wilayah PTP, sebagai “daerah basis” Gembalaan Saudara-Sauraku Kaum Kristiani sebelum ini. Sehingga hal ini harus dilakukan pembelaan oleh kaum intelektual Papua.
Untuk itu tidak kurang dari Dr. Sofyan Nyoman, Sendius Wonda dan Sem Karoba (seorang Mahasiswa Program Doktor Universitas Oxford Inggris), harus "turun gunung" ikut ambil bagian dalam kesempatan ini, dengan menerjemahkan artikel hasil perkiraan konferensi yang dilakukan di Australia. Sebagaimana kekhawatiran itu terlihat dari opini yang ditulis oleh seorang pengamat Autralia; Elizabeth Kendal berikut ini :
”Jika kecederungan demokrasi berlanjut, Papua Barat (sebelumnya Irian Jaya) akan menjadi mayoritas orang Indonesia (Kebanyakan orang Jawa) Muslim pada tahun 2011, dan orang asli Melanesia yang umumnya orang Papua Kristen Protestan akan turun menjadi 15 persen minoritas pada 2030. Demikian prakiraan dalam sebuah konferensi di University of Sydney (NSW, Australia) oleh Ilmuwan Politik Dr. Jim Elsmlie dari Proyek papua Barat, berbasis di University of Sydney Centre for Peace and Conflict Studies (CPACS)”.
Tapi benar sedemikian mengkhatirkankah fakta sesugguhnya dilapangan? Walapun selalu dan dimana-mana perkiraan tanpa penelitian lapangan vadilitas akurasi kebenaran selalu tentatif, namun penting diperhatikan disini, bahwa benar ada suatu kejadian yang itu sebagai momok yang sangat menghawatirkan bukan saja Saudara-Saudaraku, para pemuka masyarakat, terutama kaum Nasrani dan Pendeta tapi kami masyarakat Adat dan Budaya Papua lebih merasa dirugikan oleh semua agama.
Kerugian masyarakat Adat dan Budaya Papua oleh nilai budaya baru yang mau mendominasi baik oleh agama dan modernisme secular mewabah di Papua dewasa ini. Demikian juga nilai baru semua agama baik itu Kristen, Islam dan Yahudi telah berperan merusak tatanan Adat dan Budaya Papua. Karena itu tidak hanya satu agama tapi semua agama merusak orang Papua yang ingin mempertahankan Adat dan Budaya adalah kepentingan dan tujuan penulisan artikel disini untuk mengklarifikasinya. Disamping itu oleh akibat sekunder lainnya kita tidak selamanya dapat mempertahankan diri akan genuisitas diri. Kita selalu merasa tidak pernah siap, kalau-kalau terlebur (konversi) kedalam kelainan yang lain. Kita banyak berjumpa dengan yang lain dan baru, pada saat sama kita ingin membiarkan keunikan diri sebagai Yang Maha Unik, sebagai diri, orang Papua.
Karena itu kejahatan disini tidak hanya ditimpakan pada salah satu agama samawi, misalnya isu islamisasi, tapi juga separahnya kristenisasi sangat meresahkan menghebat dengan melahirkan akibat-akibat negatifnya sendiri telah lama merajalela justeru sangat meresahkan kami, dari sudut pandang survival existence masyarakt Adat dan Budaya Papua. Bahkan proyek "kristenisasi" dalam era Otonomi Khusus sangat menggila dan merajalela Sebagai akibat buruknya misalnya hubungan sex bebas tanpa memandang marga. Demikian sebagai akibat buruk dari pembakaran adat dan Budaya oleh Gereja, salah satu alat menghilangkan jati diri dan budaya orang Papua sangat meresahkan dirasakan oleh masyarakat Adat adalah dosa-dosa Agama Kristen dan para Missionaris Barat.
Masyarakat Adat Papua dipaksa meninggalkan Adat dan budaya mereka untuk menggantikan konsepsi agama. Orang Papua dipaksa harus peduli dengan siapa Tuhan Yesus, Roma dan Israel-Palestina dari pada memperhatikan Adat-Budaya diri mereka sendiri. Mereka dipaksa mengganti kepercayaan Adat Budaya asli, Kaneke, dengan agama yang mereka bawa adalah dosa-dosa Kristen Barat di Papua. Akhirnya semua tergantikan oleh agama Krsiten bukan budaya Papua sendiri. Bukti didepan mata saat ini (era otsus) adalah pembangunan Gereja disana-sini sangat mewabah bagaikan jamur dimusim hujan. Agama peninggalan Barat di Papua ini begitu merajalela, menyebabkan masyarakat Papua terutama daerah PTP, teralienasi dari akar budaya mereka sendiri. Agama Kristen berdosa besar pada Adat-Budaya menyebabkan orang Papua saat ini kehilangan jati diri.
Moralitas orang Papua runtuh dan mereka kehilangan keseimbangan. Penyebabnya tidak lain Missionaris Kristen Barat menganjurkan masyarakat Papua membakar habis Adat-Budaya (Kaneke) menggantikan dengan konsepsi baru mereka Injil dan Agama Kristen. Sebagai akibatnya orang Papua di PTP menganggap Agama dan Injil lebih baik dari pada Adat Budaya mereka sendiri. Orang PTP dan umumnya Papua membakar dan membumihanguskan Adat Budaya penggantinya dengan Injil, menyebabkan perilaku orang-orang PTP saat ini rusak total.
Kalangan muda banyak melakukan hubungan sex bebas tanpa membedakan marga (Wita-Waya), sesuatu yang sangat pantangan dalam Adat di PTP.
Bagi penulis yang tidak ikutan khawatir dengan tegaknya Adat dan demokrasi, sebagai tonggak baru perjuangan OPM mengganggap bahwa kedepan pasti tetap terjadi perubahan, apapaun perubahan itu. Pasalnya, dimanapun manusia selalu tidak steril terhadap transformasi nilai-nilai baru. Peleburan nilai baru kedalam nilai lama (akulturasi-inkulturasi) selalu dan dimana-mana selamanya dalam kebudayaan umat manusia. Demikian juga dengan Papua, transformasi nilai-nilai baru kedalam nilai lama budaya Papua akan terus menghegemoni era dunia informasi modern ini.
Tapi catatan saya nilai yang akan menghegemoni dunia nanti yang terus berubah tidak sebagaimana yang diprediksikan dalam perkiraan konferensi di Australia itu. Hegemoni nilai yang akan mendominasi di Papua Barat adalah secularisme dan nilai Amerikanisme. Walau apakah nilai baru tersebut positif atau negatif, akan mendominasi di Papua Barat kedepan. Mengapa Americanisme? Untuk saat ini negara manapun, (Presiden Prancis, pernah mengeluh soal ini di forum negara-negara Eropa), bahwa hegemoni budaya Americanisme begitu menghegemoni dunia manapun tanpa batas sebagai akibat kemudahan tekhnologi informasi dewasa ini.
Amerika sebagai satu-satunya polisi dunia mengimpor tidak saja produk tekhnologi industrinya tetapi juga ideologi liberalisme berbungkus HAM dan demokrasi kesemua negara-negara dunia ketiga, sebagai syarat agar mendapatkan kucuran bantuan ekonomi dari IMF yang dikontrolnya. Austaralia, Inggris dan negara sekutu Amerika lainnya ada dibelakang, mendukung semua kebijakan politik, ekonomi, sosial budaya adalah modal utama Amerika sebagai negara super power tak tertandinggi oleh ideologi manapun saat ini masih berjalan.
Ada beberapa tokoh dari negara Amerika Latin, Cina dan Iran dibawah kepemimpinan Ahmadi Nejad memcoba melakukan perlawanan terhadap dominasi Amerika yang rakus dan arogan itu, namun Amerika tetap lebih masuk akal mendominasi peradaban dunia abad 21 ini. Nilai lain dari Asia dan utamanya Indonesia juga ikut berperan mewarnai karakter terbentuknya nasionalisme Papua kedepan. Oleh sebab itu kita, orang Papua, dituntut wajib membangun sikap inclusivisme (paham terbuka) kepada semua nilai baru dengan usaha tetap mempertahankan nilai lama yang baik dengan menerima nilai baru yang lebih baik tanpa kita mau terjebak pada sikap curiga satu terhadap lain atau menerima satu menafikan lain yang sesungguhnya semuanya asing dalam diri kita, budaya Papua sendiri.
Kita sebagai intelektual wajib dituntut tetap bersikap realistis atas semua perubahan nilai itu. Soal isu agama saya rasa bukan faktor utama masalah Papua, dan oleh Papua untuk Papua. Semua agama sesungguhnya di tanah Papua datang setelah kita semua orang Papua sudah ada. Semua agama diimport ke Papua mau dibiarkan menggeregoti adat dan budaya atau mencegahnya, sehingga jangan masuk adalah suatu hal yang akhirnya; ah bisakah? Sebab watak agama besar yang bersumber Abrahamic religion (Yahudi, Kristen dan Islam) adalah universal dan dapat diterima dimanapun dan pada suku bangsa manapun.
Kita tidak pernah merencanakan diri mau menjadi muslim atau Kristiani, begitu tiba-tiba kita lahir kita menganut Agama Kristen, Yahudi dan Islam karena faktor kebetulan. Kebetulan orang tua kita, dikampung kita, lingkungan kita, daerah kita, dan sekitar kita menganut agama, agama apapun, kita menganutnya begitu saja tanpa pernah kita merencanakan sendiri sebelum kita mau berada di dunia ini. Atau orang menganutnya, tatakala agama itu datang dimana saja tempatnya. Papua tidak mungkin steril dari agama besar dunia manapun. Kita hanya waspadai dampak negatif Agama adalah yang terpenting menurut saya.
Sebenarnya agama apapun kalau boleh jangan merusak tatananan adat dan budaya Papua. Tapi kalau mau diterima semuanya, sebenarnya semuanya sudah masuk dan telah berperan merusak tatanan adat dan budaya Papua itu pada saat sekarang ini. Tinggal bagaimana kita kembangkan sikap siap menghadapinya (perubahan itu), dan sikap itu alatnya hemat saya adalah sikap demokrasi dan penegakan HAM adalah lebih penting dari pada mempersoalkan sesuatu yang sesungguhnya bukan asli produk (Made In Papua) membuat kita akhirnya terpolarisasi. Kita Rakyat Papua akhirnya hanya percuma membuang energi menetapkan ini dan membuang yang itu, adalah suatu usaha kesia-siaan saja.
Tujuan utama kita sekarang adalah bagaimana mengusir penjajah bukan urus kepercayaan agama. Agenda terpenting perjuangan OPM adalah bagaimana bebas dari: Penghinaan, perbudakan, penjajahan, kebodohan, ketakutan, dari semua hegemoni budaya asing, termasuk budaya penjajah dan agama yang merusak tatanan adat dan budaya kita. Perjuangkan OPM ke depan tidak hanya perjuangan melawan penjajah tapi semua bentuk hegemoni budaya luar asing yang merusak tatanan adat budaya (Honai Kaneke), itu kalau kita mau konsisten terhadap diri sendiri dan perjuangan OPM. Perjuangan OPM juga menyangkut memahami kekurangan dalam diri sendiri dan mengembangkan potensi. Hal-hal yang bersifat feriveral harusnya bukan tema utama Perjuangan Papua merdeka seperti misalnya soal agama, sebaiknya tidak di kedepankan dulu disini, tapi kita ambil manfaat kebaikan agama.
C. Perjuangan OPM Pendekatan Intelektual
Dewasa ini perjuangan tidak sebagaimana para pejuang OPM "garis keras", para generasi muda koteka lebih sering dan cenderung menempuh perjuangan dengan pendekatan intelektual. Diantara para pejuang dengan pendekatan intelektual (moderat) itu adalah Sendius Wonda yang bukunya yang berjudul; "Tenggelamnya Ras Melanesia", yang kemudian disita oleh pihak Kejaksanaan Negeri RI di Jayapura beberapa minggu yang lalu.
Pergeseran ini tiada lain, sebagai akibat banyaknya generasi muda Koteka mengenyam pendidikan sampai perguruan tinggi. Lewat tulisan-tulisannya, Sem Karoba dkk AMP; juga misalnya, pernah menerbitkan buku dengan judul "PAPUA MENGGUGAT" dalam beberapa edisi yang kini masih tersebar di berbagai tokoh buku gramedia dan ikut "nongkrong" di pajang di lantai dasar gedung Parlemen Indonesia (DPR RI), Senayan Jakarta.
Perjuangan intelektual demikian sudah dilakukan sudah sejak lama, sebelum PDP berkongres yang kedua pada tahun 2000 di GOR Jayapura. Benny Giay, Doktor (Phd-nya diraih di Universitas Negeri Leiden Belanda), telah lama menulis dan melakukan perlawanan dengan gaya tulisan revolusioner. Karena itu beberapa bukunya pernah dilarang terbit di Indonesia dan ditarik dari peredaran di pasar buku. Kemudian menyusul Dr. Sofyan Nyoman dari Suku Dani. Buku pertamanya tentang: "New York Agreeman", sukses dan kini terbit lagi bukunya yang (mungkin) kedua, dengan judul "Genosida Papua Barat".
Dari kalangan mahasiswa yang produktif dan sangat amat membanggakan adalah buku Saudara Natalis Pigay; "Evolusi Politik Nasionalisme Papua Barat". Dengan kelengkapan data dan informasi baru dalam buku ini kualitas sudah menunjukkan disini. Sehingga buku ini menurut hemat saya, pertama dan terakhir tentang informasi perkembangan segala tetek-bengek Perjuangan Kemerdekaan Papua. Buku ini diberi pengantar oleh Dr. Castle, dosen tamu UGM dari Australia, semakin menambah bobot karya anak muda inteletual Papua ini.
Disamping itu teman-teman Koteka Suku Moni (Mee), cukup produktif, semasa masih berstatus mahasiswa, sudah mampu menulis buku dalam 4 bahasa, hal ini dibuktikan oleh Victor Yeimo. Demikian juga yang saya amati dari Saudara Yacobus F Dumupa, semasa menjadi mahasiswa STPDN sudah sanggup menulis buku dan artikel yang cukup produktif, sebagaimana juga pernah dilakukan Natalis Pigay. Mengikuti jejak Pigay, anak-anak Paniai lebih berprestasi dan produktif dalam menulis. Sebagai anak Koteka dari Moni mereka lebih berani menulis dan ini sudah di buktikan oleh Yacobus F Dumupa dan Viktor Yeimo dalam beberapa karya bukunya dapat dijumpai di semua tokoh buku Gramedia Indonesia.
Lalu bagaimana dengan anak-anak Papua lainnya? Kita masih punya penulis berpotensi intelektual bagus dan masih muda dari Muyu, misalnya Nace Natalia dan lain-lain. Dari Ayamaru sering kedengaran nama Arkalius Baho, (komandan Front PEPERA). Kaum intelektual muda banyak tidak disebut disini. Tapi guna menjawab pertanyaan diatas, penyebutan kaum muda progressif intelektual Papua diakhiri disini. Jadi selain disebut diatas anak-anak Papua belum ada yang berani mencoba menulis. Padahal menulis sudah seharusnya di coba sejak dini mahasiswa.
Untuk kedepan daerah-daerah lain yang tidak tersebut diatas harus berani mencoba menulis, misalnya anak-anak Suku Dani Lembah Balim, yang miskin kader intelektual progressif pasca Nico Lokobal, Agus Alue ALue dan Tadius Mulac. Anak-anak muda (mahasiswa) Wamena tidak nampak progresifitas intelektualnya, padahal jumlah mahasiswa mereka yang terbanyak, tersebar dari Uncen, Unipa Manukwari, Menado, Surabaya, Jogja sampai Jakarta. Suku Dani Lembah Balim termasuk paling miskin kader intelektual bebas di bandingkan dengan saudara-saudara mereka sesama anak-anak koteka dari Moni, Ekari, Mee, Ayamaru dan Muyu.
Dengan demikian diharapkan wacana intelektual yang dominan dapat menemukan format idealisme perjuangan Papua menjadi satu persepsi guna menghindari ketidak-akuran idealisme sebagai penyebab utama kelemahan utama trategi perjuangan Papua Merdeka hari ini. Hal ini kedepan dapat berdampak pada penyiapan sosok kepemimpinan Papua yang kuat, baik secara intelektual maupun secara mentalitas, yang dirasakan krisis. Sehingga dapat menyiapkan Pemimpin Papua yang dirasakan krisis dapat tertanggulanggi nantinya. Proses pencerahan sangat berpengaruh pada idealisme pembebasan, bukan saja secara fisikal tetapi pemikiran secara metafisikal. Sebab persepsi lebih dipengaruhi oleh konsepsi. Jika secara konsepsional memadai maka persepsional mempengaruhi dan itu turut mempercepat pembebasan Papua sesungguhnya, kalau kita menyadarinya.
D. Nihilisme dan Agama
Para ahli ilmu sosial, terutama ahli antropologi, mengakui bahwa manusia sesungguhnya tidak "betah", hidup lama-lama didunia ini, jika manusia tanpa mempunyai harapan atau tujuan hidup yang dilandasi oleh suatu sistem kepercayaan yang disebut mythos. Tujuan tidak melekat pada benda tapi pada keyakinan, apapun keyakinan itu. Manusia dengan demikian tidak akan bahagia hidup tanpa tujuan. Karena itu menurut Frans Magnis, manusia butuh alamat, untuk mengarahkan tujuan hidupnya (Frans Magnis-Suseno, Etika Dasar, 1997).
Manusia tidak mungkin hidup tanpa ada tujuan, pegangan dan landasan kepercayaan sebagai mitologi, betapapun palsunya mitos itu, ia memberi makna hidup bagi yang mempercayainya. Manusia untuk itu butuh simbol, tanda, agar bisa menghayati makna terdalam dari arti hidupnya untuk mengarahkan semua pengabdian hidup didunia. Dalam filsafat Yunani pengertian myhtos sendiri, hanya ceritera khayalan, ceritera rekaan yang belum pasti benar pernah terjadi. Pada saat sekarang, era sciance dan tekhnology, para ahli ilmu sosial dan antropologi Barat umumnya menyebut hal demikian sebagai mitologi.
Dalam agama, Islam misalnya tidak luput dari unsur kepercayaan ceritera mythos. Banyak kisah dalam agama seperti naik haji (atau, mengunjungi baitullah), adalah dari kisah Nabi Ibrahim AS (Abraham) sebagai contoh mythos dalam agama. Kisah Nabi Ibrahim AS yang kemudian dilaksanakan kaum muslimin seluruh dunia setiap tahun itu, menurut Nurcholis Majid (Cak-Nur) dapat dikategorikan sebagai pengulangan dari ceritera mythos atau mitology dari Nabi Ibrahim AS dalam agama Islam. (Nurcholis Madjid, 2000, h.176).
Kebalikan dari tidak percaya pada Tuhan agama samawi (Islam Yahudi dan Kristen) adalah atheisme, suatu kepercayaan juga, tapi percaya pada obyek selain Tuhan misalnya pada ilmu pengetahuan yang melahirkan modernisme. Ilmu atau sciancesm, menurut Cak-Nur (2000), sebagai isme (paham) baru bagi kebanyakan manusia modern terjerembab pada sikap percaya pada rasionalisme berlebih, dengan meminjam istilah Cak-Nur sebagai piranti, sebagai Tuhan palsu dari sudut pandang agama formal.
Kemudian nihilisme suatu ajaran (isme) kepercayaan pada ketiadapercayaan. Nihilisme dan atau atheisme sesungguhnya oleh akibat pencerahan dan kepercayaan rasionalisme yang berlebih. Setiap yang tidak dilihat-buktikan bagi para rasionalis secular adalah mitos. Tokoh nihilisme misalnya Albert Camus, Freud dan Friedrich Nietzsche, tidak percaya pada Tuhan. Nietzsche dalam pengumamannya bahwa, 'Tuhan telah mati'. Kita hidup bebas (tanpa Tuhan). Bahkan bagi Albert Camus hidup atau mati sama saja, atau mati sekarang atau nanti akhirnya mati juga. Baginya hidup hanya beban lebih baik mati sekarang, tanpa kepercayaan atau harapan masuk sorga atau takut neraka karena sepenuhnya dia tidak percaya eksistensi tempat itu. Dia kemudian mati bunuh diri, karena baginya sama saja mati nanti atau sekarang. (Frans Magnis, 13 Tokoh Etika, h. 135).
Dominasi ilmu dan tekhnologi di Barat dewasa ini sebagai akibatnya secularisme (paham hanya percaya pada ilmu dan tekhnologi saja), menyebabkan orang Barat banyak yang kurang memperdulikan agama. Malahan modernisme sebagai piranti (istilah Cak-Nur) atau berhalaan baru bagi mereka adalah gejala umum. Mereka lebih banyak menganggap agama hanya urusan kuburan atau mati yang amat jarang di perhatikan, adalah problema tersendiri di Barat (Cak-Nur, 2000, h. 14-15).
Berbeda dengan agama samawi (langit), Abramic Religion, yang sepenuhnya percaya pada adanya Tuhan. Agama dan religi atau agama alam, seperti Honai Kaneke, Hindu, Budha, Conghucu, Shinto juga mendasarkan kepercayaan terhadap obyek tertentu selain Tuhan sebagai Tuhan. Tapi apakah hanya agama formal sajakah, yang berhak mengisi isi hati kita untuk mendorong kita, manusia, menghayati hidup, agar hidupnya bermakna, dan berpengharapan? Banyak ahli berpendapat bahwa tidak hanya agama, yang berhak memberi makna hidup, bagi kehidupan manusia. Jalaluddin Rahmat, (2005) dalam bukunya “psikologi agama” menjelaskan bahwa bagi kebanyakan orang Barat yang atheis, atheisme juga memberi rasa makna hidup bagi penganutnya walau oleh agama sebagai Tuhan palsu.
Maka dengan demikian, Adat atau Kaneke (Papua), dapat juga memberi makna hidup. Jangankan Kaneke atau religi semacamnya yang memiliki konsep dan sistem kepercayaan, ideologi komunis yang anti Tuhan sekalipun, adalah sistem kepercayaan yang memberi semangat para pasukan Unisoviet akan ideologi komunis dan rela mati berhadapan dengan pasukan Amerika yang Kapitalis yang mengaku percaya Tuhannya agama formal (Cak-Nur, 2000).
Oleh sebab itu Papua dengan kekuatan adat, agama apapun yang mencoba menghancurkan atas nama kebenaran agama terhadap pemeluk agama lain dihalangi oleh adat. Adat yang dimaksudkan adalah bahasa, warna kulit, bentuk rambut, marga, kepercayaan adat, pekerjaan, mata pencaharian, tempat tinggal atau singkatnya semua yang mengikat persamaan dan persatuan sebagai simbol persaudaraan orang Papua. Semua unsur adat (kaneke) itu adalah sarana (alat) perekat persaudaraan Papua, dikala dichotominasasi oleh agama juga terus mau merajelela. Agama tidak boleh mendominasi pemikiran manusia Papua untuk melakukan polarisasi dalam kesatuan adat dan budaya.
Kalaupun ada usaha dominasi suatu agama dengan membunuh Kaneke (jati diri manusia Papua), maka agama demikian harus ditolak. Islam misalnya tidak boleh memaksakan diri dengan memasarkan kebenaran keyakinannya pada para pemeluk agama di Papua yang sudah beragama. Jika itu terjadi maka harus di hadapi oleh Adat bukan oleh agama. Oleh sebab itu adat sebagai pemersatu, maka kecenderungan agama yang membunuh budaya dan Kaneke harus di lawan. Islam juga misalnya mau mengharamkan babi adalah sesuatu yang memaksakan atau akan menghilangkan adat, walau baik menurut islam tapi tidak dapat diterima oleh adat meskipun sekunder posisinya dalam adat. Oleh sebab itu setiap kecenderungan membasmi adat dan budaya oleh agama harus di cegah. Tapi kalau itu menyangkut hal yang primer dan prinsip bukan yang sekunder.
E. Peran Negatif Agama
Betapa tidak sedikit oleh akibat kefanatikan kepemelukan agama, peperangan (pembunuhan manusia) atas nama kebenaran agama telah menjadi banyak bukti terjadi dimuka bumi. Andaikan gunung, bukit, batu, tanah, pohon, hewan dan lain dapat berbicara, ia dapat bercerita bahwa; oleh akibat fanatisme pemeluk agama, ribuan nyawa anak manusia menjadi korban sia-sia kebiadaban manusia. Agama penyebab utama manusia dibunuh. Agama menyebabkan telah banyak korban nyawa manusia menjadi sia-sia. Demikianlah contoh di Ambon, agar kita tidak jauh-jauh menyebut Bosnia atau Perang Salib pada masa silam.
Demikian baikkah agama sesungguhnya? Pasti ada yang membela agama, dengan mengatakan bahwa yang salah bukan agama tapi manusia sebagai pemeluk agamanya. Herankah kita oleh ulah agama, ratusan bahkan ribuan angka yang diberikan oleh Dewan Gereja Indonesia, pembakaran Gereja oleh kaum pemeluk fanatik Islam yang melakukan pembakaran, menjelang Hari Raya agama Nasrani; Natal dan Paskah? Bahkan Pendetanya mendapatkan nasib sial sejak zaman Soeharto berkuasa?
Hal demikian di Indonesia (negara yang membanggakan diri sebagai negara demokratis), masih berlangsung, sampai dengan pemerintahan yang berkuasa sekarang, perlindungan terhadap rakyat pemeluk agama dianggap buruk. Kurangnya perlindungan oleh pemerintah, menjadi alasan benar kekerasan oleh akibat kepemelukan agama yang fanatik buta. Semua ini menjadi contoh keburukan agama atau oleh akibat kepemelukan fanatik buta agama.
Kalau begitu kenapa kita mau mempercayai agama? Hanya agama sajakah yang membawa kita pada kebaikan, harapan dan tujuan hidup? Tidak! Adat betapapun dianggap palsu dan rendah oleh agama dapat membawa kebaikan, tujuan dan harapan. Adat dapat dipedomani sebagai penuntun arah, tujuan, alamat, signal, menuju pada obyek kepercayaan untuk mencapai hidup bahagia, agar hidup ada makna, hidup ada arti, akhirnya sebagai semangat pemersatu dalam persatuan dan kesatuan kemanusiaan manusia.
Sebab agama sesungguhnya kepercayaan pada obyek transendental, diluar dari kenyataan disini. Agama adalah kepercayaan pada hal-hal yang bersifat eskatologi (Sorga, Neraka, Tuhan, Maikat, Setan dan juga Iblis) yang tidak dapat dibuktikan oleh siapapun manusia di dunia. Kita dianjurkan oleh agama mempercayai begitu saja, tanpa pernah merasa benar, atau sudah merasakan bagaimana sorga, atau panasnya api neraka itu.
Karena itu agama sesungguhnya juga adalah idealisme, idealisme yang memproses terus untuk memberi janji, janji hidup manis sorga dengan para bidadari dan ketakutan akan api neraka, tanpa pernah kita tahu persis benar ada atau tidak tempat itu. Bahkan dimana letak tempat-tempat itu beserta Sang Pembuat dan Pemilik Tempat itu (Tuhan).
Siapa saja manusia tidak tahu, kecuali kembali kepada mitos (percaya). Agama adalah suatu sistem kepercayaan tanpa pernah kita mengalami benar-benar kebenaran ceritera semua itu. Dogma kepercayaan agama terus ditanamkan (indogtrinasi) , oleh para ulama, pendeta dan pastor dari sejak kita belum lahir sampai kita mati, ceritera (mitos) terus akan begitu.
E. Adat dan Agama
Papua dengan kekuatan adat, agama apapun yang mencoba menghancurkan nilai-nilai lokal yang utama atas nama kebenaran agama terhadap pemeluk agama lain dihalangi oleh adat. Adat yang dimaksudkan disini adalah ciri khas daerah yang mengikat rasa persatuan dan persaudaraan manusia. Semua unsur adat (kaneke) itu adalah sarana (alat) perekat persaudaraan Papua, dikala dichotominasasi oleh agama mau merajelela. Agama tidak boleh mendominasi pemikiran manusia Papua untuk melakukan polarisasi dalam kesatuan adat dan budaya masyarakat Papua. Kalaupun ada usaha membunuh Kaneke (simbol, manusia Papua), maka agama demikian harus ditolak. Oleh sebab itu adat sebagai pemersatu, maka kecenderungan agama yang membunuh budaya dan Kaneke harus di lawan.
1. Keistemewaan Adat
Dalam kesempatan manapun, kaum pria, para prajurit dan orang-orang berpengalaman, dalam upacara perang di Lembah Balim, Papua selalu menyatakan dengan semangat menyala-nyala. Mereka sering mengucapkan kata-kata seperti ini : Nai hawolok...Nai Hawolok...Nai Hawolok. Artinya : "Damailah negeriku...Damailah tanahku... atau Tentramlah alamku...".
Sebenarnya diperhatiakan arti dari ucapan kata-kata ini, dalam adat dan budaya Papua di Lembah Balim, sudah ada konsep damai. Hanya maksudnya dan tujuan kedamaian disini berbeda dengan konsep agama. Ucapan kata-kata ini penulis ingat persis sampai sekarang. Ungkapan ini penulis dengar pada usia 13 tahun (21 tahun yang lalu), saat penulis kelas 6 Madrasah Ibtidaiyyah (SD), Merasugun Asso Walesi, tatkala orang-orang Woma yang dibantu oleh orang-orang Tiom, (Elesiwagha, Wamena Barat) yang tinggal bermukim sekitar Kota Wamena datang membakar rumah-rumah orang Walesi dan mau membunuh kami, orang-orang Walesi, dalam perang Suku Antar Konfederasi Suku Mukoko dan Walesi pada tahun 1988 lalu.
Saat itu ada seorang tokoh Tua yang pada masa mudanya adalah seorang prajurit perang yang berani, namun kala itu orang Tua ini sudah berumur sekitar 80 tahun. Orang Tua itu namanya Yahelega Asso. Dia tidak takut, walau musuh yang datang usianya muda-muda dan ditangannya menghunus kampak, parang, tombak, panah siap menebas leher siapapun dihadapannya. Yahelega Asso tidak lari karena takut, malahan dia lari bolak-balik, kesana-kemari persis seperti upacara menyambut tamu dalam adat Lembah Balim Wamena.
Sambil berlari kesana-kemari tanpa memperdulikan musuh hanya beberapa meter, (mungkin 20 meter), dari mulutnya keluar kata-kata : Nai Hawolok... Nai Hawolok...Nai Hawolok.. dan seterusnya. Saya kala itu disana tapi saya lari disemak-semak, itupun di kastau ibu guru orang Bugis agar saya tidak dibunuh musuh. Saya anak baru usia 13 tahun, tapi mendengar ucapan kata-kata orang itu, tiada rasa takut sedikitpun dalam jiwa ini saya rasakan, sungguh luar biasa!
2. Rahasia Nai Hawolok
Kata-kata demikian selalu dan dimana-mana di Lembah Balim, dalam peperangan, diucapkan oleh mereka yang diserang secara tiba-tiba oleh musuh dalam perang suku antar konfederasi di Wamena. Seorang tokoh, kepala suku, atau Ap Tugi Metek (kepala suku perang), akan ucapkan kata-kata ini, pada saat dihadapannya penyerangan musuh, orang-orang yang haus darah, untuk membunuh datang dihadapannya, dia akan berlari kesana-kemari (persis yang dilakukan Yahelega Asso), sambil bersumpah dengan ucapan kata-kata, Nai Hawolok... berulang-ulang.
Makna di balik kata-kata ini sesungguhnya, mengundang tidak saja para arwah leluhur, Tuhan dalam konsepsi dia, kepada manusia hidup tapi semua alam untuk turut membela mempertahankan diri dari penaklukan daerahnya oleh musuh. Nai Hawolok, mengundang semua makhluk agar segera hadir turut ambil bagian dalam mempertahankan tanah dan wilayah kekuasaan. Nai Hawolok lebih dimaksudkan agar semua makhluk selalu tenang dan waspada penuh siaga, jangan kocar-kacir bila musuh datang menyerang, tapi bersiagalah dan diam ditempat untuk menghadapinya dengan berani.
Nai Hawolok oleh seorang kepala perang pertanda awal membunyikan genderang perang. Kepala perang memanggil semua manusia dan alam, turut ambil bagian dalam menghadapi musuh. Semua di undang tidak hanya manusia, tapi semua makhluk, rerumputan, pepohonan, baik didalam tanah maupun diatas tanah, turut hadir menghadapi musuh. Nai Hawolok, juga ungkapan oleh kepala perang untuk menenangkan warganya agar tidak panik menghadapi musuh didepan mata.
Ada hal yang menarik adalah kesatuan atau penyatuan (unity) antara manusia dan alam. Ketika Ap Tugi Metek, mengucapakan kata-kata Nai Hawolok, dia sudah extace, dia sudah masuk alam lain, alam perang. Dia sudah tidak menyadari lagi, dari pintu mana dia masuk dan dunia darimana dia tadi pergi. Dialam itu menjadi kehidupan dunia lain yang tidak ada sangkut pautnya dengan dunia tadi.
Dalam situasi extace demikian tiada rasa takut, yang ada hanya tawa, permainan, permainan perang suku kedua belah pihak. Tapi begitu perang usai dengan korban dan luka masing-masing pihak baru ada kesadaran, oh... saya dimana tadi... saya dalam alam extace. Dalam alam Nai Hawolok, yang ada hanya berani, menertawan musuh yang lari terbirit-birit karena takut, mengejar dan di kejar, sepenuhnya alam permainan. Kita baru menyadari, setelah kembali...kembali ke alam dunia pertama. Tapi perang itu sendiri, adalah dunia lain, dunia permainan, yang tanpa rasa takut akan mati dan luka. Dunia alam perang memalingkan dari mana saya datang, dan dimana kini saya berada, yang ada hanya dunia perang. Kepada sebanyak berapapun pasukan musuh akan dihadapi dengan berani, dunia "sana" tidak mengingatkanya takut akan kematian, yang ada permainan, permainan perang.
Tetapi yang menarik, apabila sapaan dan undangannya sampai baik kepada semua makluk wilayah georafi teritorialnya yang disapa dengan kata : Nai Hawolok, agar ikut serta ambil bagian dalam membela wilayah kekuasaan. Seakan semua alam beserta semua isinya, telah mendengar, datang hadir ikut serta membela daerah kekuasaannya. Kalau keadaan bahaya, Sang Kehadiran, akan menolong menghindarkannya dan atau dapat mempertahankan wilayah kekuasaanya adalah keistimewaan dalam perang adat di Lembah Balim Papua. Semangat Nai hawolok semua makhluk turut di undang baik yang ada dibawah tanah ataupun diatas tanah.
*** ***
Kebebasan, persamaan, keadilan dan kemanusiaan untuk menentukan nasib sendiri sebagai bangsa berdaulat merdeka
Senin, 05 Mei 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar