Menimbang Kembali Keputusan Papua Tanah Damai
Damai, demikian kata ini menjadi kata kunci dan menjadi populer tiba-tiba dalam abad 21 ini, sehingga menjadi cap dagang utama Barat untuk dianut negara-negara non Barat, terutama negeri-negeri yang belum dianggap "beradab" sebagaimana sudut pandang para penganjur untuk kemudian dianut dunia lain non Barat.
Walaupun kata damai serta derivasi pengertian damai masing-masing bangsa dipunyai baik di Barat maupun di Timur. Namun menjadi menarik kajian disini bukan karena pengertian damai yang dimaksudkan tapi lebih dari itu, kata damai, sebagai cap dagang utama negara-negara Barat, terutama Amerika adalah paling menarik menjadi perhatian utama kita disini.
Kata damai dipertentangkan selalu dengan kekerasan (harusnya, perang) dalam usaha memperjuangkan pembebasan dibanyak negeri belahan dunia ketiga (baca, non Barat), oleh akibat berbagai alasan tidak hanya usaha merdeka dalam pengertian membentuk pemerintahan berdaulat sebagaimana juga Papua, tapi lebih banyak oleh akibat sosial agama sehingga betul memang kekerasan. Karena itu anjuran damai menjadi masuk akal sebagai anjuran kebaikan yang patut diperhatikan bagi negara-negara yang banyak konflik internal seperti Indonesia menjadi penting.
Walaupun demikian Amerika dan sekutunya membiarkan Yogoslavia menghancurkan Bosnia, Israel mencaplok wilayah Palestina, Amerika Serikat dan sekutunya menyerang Irak dengan kekuatan senjata disebut perang seakan bukan kekerasan adalah sejumlah hal yang belum jelas bagi kita yang belum berfikir kritis, sehingga jangan sampai ada sikap ikut-ikutan mengamini sikap dan anjuran baik dan berguna ini, apalagi salah menempatkan pengertian damai dalam kenyataan Papua seperti sekarang adalah sesuatu yang patut ditimbang kembali urgensinya disini.
Tapi sesuai tata bahasa kata damai sebagai lawan kata perang memang dipahami sebagai suatu keadaan ideal. Sebaliknya perang jarang di anggap (karena kita keliru memahami?) sebagai lawan kata damai, malah damai lebih banyak dipahami sebagai lawan kata kekerasan atau pada akhirnya terorisme. Karena itu kitapun pada akhirnya menganut dan mau mengikuti sesuai selera para penganjur dengan apologitas di balik kata damai, semata-mata agar kita juga tidak dianggap tidak beradab, barbaris, teroris, hanya oleh akibat kesalahan memahami pengertian perang dan kekerasan.
B. Fallacy Of Assumtion
Kekeliruan berimplikasi pada satu kesimpulan salah. Dugaan bukan kebodohan tetapi ketidak jelian memahami akan makna etimologi suatu istilah sosial politik sebagai yang berkembang menjadi urgen untuk dihindari. Apatah lagi terminologi damai yang kita pinjam dari bahasa Melayu ini dapat menjadi kesalahapahaman pengertiannya oleh tokoh-tokoh pejuang Papua menjadi penting diingatkan disini, mengingat bukan hanya persoalan bahasa, namun lebih dari itu bahasa adalah ungkapan pikiran dan perasaan, sekaligus budaya bagi suatu bangsa. Apalagi kata damai sebagai pengertian sosial politik beserta segala derivasi pengertian dalam kompleksitas budaya orang lain tidak dapat di fahami persis sebagaimana pesan damai yang kita anut. Namun ini tidak berarti kita menafikan nilai kebaikan dan kebenaran damai sebagai nilai kebenaran yang berlaku secara universal, namun kesalahan pengertian akan bahasa sebagai ungkapan rasa dan pikiran dapat menjadi salah diterima bagi penerima pesan (misunderstanding).
Kata “damai” bermula bahasa Melayu, yang kita di Papua antara satu dan lain daerah meminjamnya sebagai bahasa pergaulan antar sesama komunitas Papua (termasuk dimilis ini) untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan. Tapi tahukah kita padanan kata damai yang kita anut? Kata damai=islam, selamat, salam dari akar kata SLM (baca, sin-lam-mim), atau assalamu -('alaikum, atasmu). Salam, islam, salamah/selamat, assalamu- mempunyai pengertian damai sejahtera. Bahasa Melayu dalam sumpah pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 disepakati sebagai bahasa Nasional kelak Indonesia merdeka, berasal dari bahasa sehari-hari di Riau, Sumatra, Batavia (Jakarta), Malaysia, Brunei Darussalam, Kalimantan dan Sumatra, sampai di Maluku singkatnya wilayah Asia Tenggara umumnya berbahasa Melayu. Karena itu di singapura yang dimaksudkan dengan Melayu adalah orang yang beragama Islam.
Karena itu kata salam, islam, assalamu dan salamah/selamat; (EYD: Ejaan Yang Disempurnakan), memiliki pengertian sama yakni damai. Damai sejahtera, atau selamat dalam artinya negeri damai. Karena itu damai lawan kata dari perang, bukan kekerasan. Istilah misalnya Aceh Darussalam, Brunei Darussalam atau Daressalam (Ibukota Tanzania, Afrika Timur), dimaksudkan sebagai kawasan atau daerah damai. Pada masa lalu kata Darussalam artinya kawasan damai lawan katanya darulharb; kawasan perang. Karena itu jika kita memahami damai lawan dari kekerasan adalah suatu kesalahan tidak saja secara terminologi tapi sekaligus kekeliruaan pemahaman etimologi dari suatu bahasa sebagai ungkapan rasa dan pikiran serta kompleksitas suatu budaya dinamakan Melayu-Indonesia.
Kata-kata misalnya Peace <> War, (damai-perang), Soft<>Hard adalah pengertian yang benar baik secara ketatabahasaan maupun secara pengertian, karena lawan kata misalnya damai bukan kekerasan tapi kekerasan-kelembutan. Maka selama ini misalnya damai dilawankan dengan pengertian kekerasan adalah suatu kesalahan (Peace<>Hard). Karena lawan kata damai adalah perang (Peace<>War) bukan Soft, tapi Soft lawan katanya Hard bukan War. Karena itu para ilmuwan sosial misalnya membagi ilmu pada dua pokok bahasan, pertama; ilmu sosial dan kedua ilmu pasti. Yang disebut pertama biasa disebut juga dengan science soft, (baca, ilmu sosial, ekonomi, politik dll). Ilmu sosial atau sciance soft selalu tidak tepat benar karena kebenaran kesimpulan dan akurasi kepastiannya tidak dapat diukur dengan kesimpulan secara valid, malah lebih sering bisa meleset. Berbeda misalnya dengan science hard (baca, Fisika, Biologi, Matematika dll), kebenaran kepastian ukuran secara tepat dan terukur dengan kepastian kesimpulan dengan hasil setepat-tepatnya dapat diperoleh dan sulit terbantahkan seperti juga ilmu kedokteran.
Kembali kesoal Damai, bahasa melayu berbeda dari bahasa Jawa, Melayu secara berat dan tebal pengaruhnya dengan islam. Frasiologi Melayu sarat dengan nilai islam bukan agama tapi sebagai nilai. Dalam perspektif agama (islam) misalnya difahami kata damai=islam, salam, salamah/selamat, assalmu bermula terambil dari kata Darussalam, dimaksudkan sebagai negeri damai. Dalam perkamusan kata damai, negeri damai, lawan katanya Darul Harb (negeri perang). Maka dalam pespektif ini pengertian negeri yang sudah ditaklukan dinamai sebagai Darussalam (kawasan damai), lawan dari darul harbi (kawasan perang).
Jika pengertian damai dalam politik Indonesia seperti ini, Papua kawasan Tanah Damai, (kesepakatan para tokoh agama, lihat artikel David Chan, Doktrin Of War), para tokoh agamawan kita ikut menyetujui tanpa mengerti dan memahami pengertian kawasan damainya Indonesia. Maka Dapatkah Papua sebagai kawasan Darussalam (negeri/Tanah Damai), karena Papua sebagai negeri taklukan Indonesia sudah tidak ada masalah, bahkan Papua sebagai bagian tak terpisahkan dari Indonesia (NKRI)? Bagaimana kita mau mengerti doktrin damai Indonesia jika adanya seperti ini? Para agamawan Papua sebagai pemegang mandat (otoritas) karena akan ketokohannya terlanjur menyetujui bahwa Papua sebagai Tanah Kawasan Damai. Sungguh, kita binggung disini!
*** ***
Kebebasan, persamaan, keadilan dan kemanusiaan untuk menentukan nasib sendiri sebagai bangsa berdaulat merdeka
Senin, 05 Mei 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
Salam.
Artikel yang sangat menarik. Mohon ijin untuk dipost di blog kami.
Posting Komentar