Profesor Dr. Fuad Hasan (pernah menjadi menteri pendidikan era Presiden Soeharto), adalah Dekan Fakultas Psikologi UI. Beliau mengasuh mata kuliah filsafat psikologi difakultasnya. Dalam salah satu karya bukunya berjudul "KITA dan KAMI", perspektif filsafat psikologi, menggambarkan realitas kemajemukan masyarakat Indonesia. Saya baca resensinya, --tapi bukunya sendiri tidak saya pernah baca, --yang dimuat dalam kompas (tangal berapa saya baca, tidak ingat). Tapi dalam resensinya itu ada terselip pesan yang menarik. Karena isinya mendalam secara epistemologis, bagaimana kemampuan membedakan (pembedaan, distingtif) makna kalimat serta makna yang dibawakannya yaitu makna tentang filsafat psikologi, tentang ungkapan kata : "KITA dan KAMI".
Kebanyakan, apalagi kita orang Papua, yang memang bahasa ibunya bukan Indonesia sehingga wajar kalau belum mampu membedakan perbedaan dua kata mirip ini. Kata subyek “Kita” dan “Kami” mirip tapi beda artinya adalah sulit tapi paling penting jika dimengerti letak perbedaannya. Penulis bahwa dia mengingatkan perbedaan makna dua kata mirip walaupun beda maksudnya. Dan bagaimana penempatan yang tepat dan benar dalam berbahasa adalah makna terjauh yang harus dipahami disini.
KAMI dan KITA, sasaran pesan penulis dalam konteks kewargaan Indonesia, yang masyarakatnya pluralistik seringkali lupa, atau mungkin, selalu menjadi rentan, malah dapat terjerumus pada dichotomisasi. Karena dalam membahasakannya, Si pembicara dapat dipahami menunjukkan dari bahasa dan ada hubungannya dengan psikologi penutur. Karena menurutnya, Indonesia sebagai sebuah bangsa terdiri dari berbagai suku, bahasa dan agama, maka ditemukannya dan yang nyata ada dalam NKRI adalah KITA, yang seharusnya demikian, yaitu meliput semua, tapi, malah KAMI yang nyata menyebabkan sektarianisme yang berakibat saling mencampakkan antara sesama warga NKRI.
Indonesia membutuhkan seorang pemimpin yang dapat menunjukkan dirinya sebagai kita, padanya hanya ada kita, yang juga berarti mengandaikan kita satu dan sama dengan menyatukan berbagai kemajemukan, yaitu yang mau mengakui semua. Tapi yang ada kini dan nyata, seringkali didapati padanya dalam diri sosok para pemimpin, hanya KAMI saja yaitu bahasa psikologi penutur, menunjukkan hanya dirinya, si pengucap dan kelompoknya atau kawan-kawannya saja.
Kata yang pertama (KITA) mau dimaksudkan, melingkupi, semua, tanpa memandang yang lain sebagai orang lain. Lawan bicara tidak dicampakkan sebagai orang lain karena kediriaannya, keunikannya, karena kelainan dirinya. Kata 'kita' mau dimaksudkan seseorang penutur, mau merangkul semua tanpa memandang lain, bukan sebagai lain tetapi juga sebagai kita, sama dengan saya dan teman-teman semua. Yang lain tidak dinafikan sebagai yang lain.
Berbeda dengan yang pertama, kata kedua (KAMI), hanya membatasi diri, dengan mengeluarkan lawan bicara sebagai lain, dia dicampakkan sebagai bukan saya dan teman-teman saya. Kata 'KAMI', berarti; psikologi si-penutur menunjukkan tidak melingkup. 'KAMI', berarti; mempribadi, lawan bicara dicampakkan sebagai orang lain, bukan teman saya, atau bukan juga 'kami'.
Karena itu kita hendaknya, apalagi dalam kebutuhan persatuan dan kesatuan bangsa seperti sekarang ini harus mampu membedakan untuk tidak membeda-bedakan secara dikhotomis bagai "Kami" dan "Kita". Sebaliknya penting dimengerti perbedaan dua kata antara "kita dan kami" yang dapat saja berdampak pada sikap ekslusif. Misalnya dengan mengeluarkan teman bicara bukan sebagai bagian dari si penutur kata 'kami' berimplikasi sesungguhnya bahwa kita lagi retak selalu.
Kemampuan berbahasa baik dan benar dan dimengerti orang ada hubungannya dengan logika (nalar berfikir, berucap dan menulis), misalnya 'kita dan kami' sebagai pembedaan dari pluralitas keberadaan masyarakat suatu bangsa. Karena itu hendaknya tahu, bukan saja beda artinya, tapi implikasi arti dari kata “kita” dan “kami”. Banyak diantara, komunitas papua belum dapat membedakan perbedaan kata antara "kita" dan "kami", yang sesungguhnya sangat berbeda.
Kita sesungguhnya tidak harus berbeda tapi dalam satu, bukan saling menafikan juga berarti bukan penyeragaman. Pluralitas adalah alamiah, demikian pesan sesungguhnya yang ingin disampaikan Fuad Hassan dalam karyanya itu.
*** ***
Kebebasan, persamaan, keadilan dan kemanusiaan untuk menentukan nasib sendiri sebagai bangsa berdaulat merdeka
Senin, 05 Mei 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar