Dalam dunia pergerakan, banyak teori (bedakan dari ideologi) digunakan oleh para tokoh pembebas, guna memberi inspirasi kepada orang kebanyakan (awam). Contoh misalnya di Afrika Selatan, oleh Nelson Mandela, yang dipenjara selama 28 tahun- (untuk ukuran kita waktu yang cukup panjang dan melelahkan, ditambah siksaan yang ia terima dalam penjara seperti kerja paksa: lihat Otobiografi Nelson Mandela atau Tokoh Dunia Abad 21 Yang Berpengaruh) -dalam politik Aparthaid yang diperintah oleh minoritas kulit putih.
Kemudian masih dalam ingatan kita, kemerdekaan saudara-saudara se-Melanesia, Timor Leste, dari politik aneksasi atau agresi (pencaplokan) militer Indonesia pada masa Kekuasaan Presiden Soeharto tahun 1977 dulu, maka tampillah Xanana Gusmao dengan politik aliran marsixmenya dan mampu membawa keluar Negeri itu dari pangkuan NKRI yang dipaksakan, dalam tahun 1999 lalu. Juga misalnya di Amerika Serikat dalam era tahun 50-an, Malcom X yang menjadikan dasar gerakan perjuangannya terinspirasi sepenuhnya oleh ajaran-ajaran Islam dari gurunya yang bernama Elijah Muhammad -atas penerapan politik rasialisme atau diskrimininasi ras (perbedaan kulit antara orang keturunan Eropa berkulit putih yang menganggap dirinya superior atas kulit berwarna, terutama kulit hitam yang dianggap inferior) -yang walaupun keliru menganggap gurunya ini sebagai Nabi (Rasul) bagi orang kulit hitam di Amerika yang diutus oleh Tuhan (Allah SWT).
Dalam waktu bersamaan Malcom X yang biasa di sebut oleh orang kulit putih Amerika sebagai kelompok "Black moslem" ini, juga tampil tokoh dari kristen Protestan, Martin Luther King, Jr. yang ia sendiri adalah seorang pendeta intelektual dengan konsepnya Integrasi atau asimilasi (integrasi) menyeluruh antara kulit hitam dan bangsa keturunan Angglo saxon-kulit putih Eropa. Dia lebih banyak menganjurkan kawin campur.
Konsekuensi dari beberapa contoh tokoh revolusi yang dicoba tampilkan diatas ini penting untuk kita perhatikan adalah pertama, kemampuan mereka menawarkan satu format perjuangan yang konsisten dan berhasil, walaupun memakan waktu tidak sedikit. Kedua, latar belakang intelektualitas mereka terlepas dari formalisme pendidikan atau gelar tidak terlalu penting bagi mereka, ( bandingkan dengan Rektor UNCEN sekarang ini, atau jual beli gelar yang terjadi umum di Papua kini tanpa kualifikasi keilmuan yang jelas tapi cukup memalukan kita sebagai anak bangsa Papua ), namun kemampuan mereka dalam meramu gagasan dan konsistensi perjuangan yang tak kenal lelah dalam menempuh perjuangannya itu cukup memberikan bukti bahwa mereka adalah orang-orang yang cukup significant kegeniusannya dan akhirnya diberi gelar dan hadiah nobel oleh dunia.
Kita baru tahu bahwa mereka ternyata orang-orang yang tingkat dan kemampuan intelektualitasnya cukup significant, ini terbukti misalnya Xanana Gusmao yang mampu pidato dalam empat bahasa (Inggris, Tetun, Portugal dan Indonesia). Kita baru mengetahui implikasi akhir dari format (bentuk) merubah persepsi oleh para teoritikus dapat dicapai suatu harapan terciptanya apa yang dinakamakan opini bersama dalam menyikapi suatu permasalahan bersama, sekaligus dapat memberi spirit dalam memperjuangkan aspirasinya yang akhirnya membentuk sikap menentang (resistence) yang sangat militant dari komunitas bangsa itu sangat dasyat kekuatannya.
Korelasi dari contoh tokoh-tokoh revolusioner itu bagi kita, (Bangsa Papua), sangat, sekali lagi sangat, diharapkan perlu munculnya para intelektual yang bersibuk diri dengan kajian-kajian ilmiah, guna menawarkan teori-teori perjuangan yang bersifat integratif konfrehenshif, dalam satu format yang padu serta refresentatif, guna merubah dan menyamakan persepsi sebagai wahana pendidikan politik (politik educatiaon) bersama. Dan inilah yang sering dinamakan oleh para pakar politik dengan sebutan "Politic Education", atau dalam pengertian kita, sering disebut dengan "Pendidikan Politik".
Pendidikan politik rakyat, bagi kita, (Bangsa Papua), saat ini dirasakan kurang, atau malah, tidak ada sama sekali, dalam bentuk yang padu dari semua elemen institusi bangsa Papua, kalaupun ada yang melahirkan dari beberapa komponen keagamaan sering kali tidak representatif, baik secara kapasitas dan kapabilitas apalagi kualitas sebagai refresentasi leader. Kalaupun ada, yang sering tampil kepermukaan tapi lalu sering "laku dibeli dan diborong" oleh kepentingan RI (kita saksikan fenomena ini sekarang ditubuh PDP). Kecuali Arnold Ap lewat seni (lagu-lagu mambesak) pernah berhasil dulu dalam era tahun 1980-an.
Karena itu, adalah urgen (penting) dan mutlak perlu pada masa ini dan kedepan apalagi dalam era otonomi khusus dengan kelimpahan uang para petinggi (baca, Pejabat) untuk mengkader anak-anak bangsa Papua dengan membeasiswakannya ke berbagai penjuru dunia akademi, terutama di-Barat, (Eropa dan Amerika) dalam berbagai disiplin ilmu.
Dasar pikiran ini berangkat dari tiga alasan mendasar (pokok) permasalahan. Pertama, langkanya, atau lebih tepatnya "miskin", tampilnya tokoh yang memiliki atau mewakili karakter kepemimpinan, (refresentatif leader), yang pada dirinya terakomodasi sifat (refresentatif leadershif). Sehingga dapat mampu menyatukan berbagai komponent komunitas Papua yang pluralistik, dari realitas sosial budaya kekinian yang masing-masing memiliki karakteristik budaya, sosial,ekonomi menuju nasionalisme Papua.
Kedua, langkanya figur-figur indepedent, yang tidak saja sanggup di beli oleh kepentingan kolonial, Jakarta tapi juga tidak mau kompromi dengan siapapun selain untuk Papua Merdeka (Uskup Bello dari Tim-Tim terbaik, contohnya). Ketiga, tiadanya inovasi dalam tubuh gerakan Papua pasca PDP, sejauh ini menurut hemat dan pengamatan penulis tidak ada lagi bagi gerakan Papua Merdeka yang menyeluruh , teroganisir dan sistematis sekelas PDP dulu.
Untuk itu tulisan sederhana ini hanya ala kadarnya saja dan penulis ingin memberi inspirasi kita pergerakan pembebasan umat manusia, dari berbagai unsur penindasan manusia atas manusia lain dalam segala dimensinya. Karena teori -teori mana, dapat merubah, membentuk, dan mere-evaluasi secara fundamental (dasar-dasar ) format perjuangan pembebasan para teoritikus terdahulu yang sudah dirasakan kurang dalam konteks dinamika waktu dan tempat yang terus berubah. Serta membentuk dan memberi inspirasi, dari berbagai perspektif epistemologi (filsafat pendidikan) kita di Papua.
Tulisan ini tidak ada pretensi apalagi memprediksi secara instan, Ad Hoc, bahwa suatu persoalan baik itu menyangkut Papua Merdeka dalam pengertian sempit yang menjadi fokus utama generasi pegiat Papua Merdeka saat ini, sehingga dapat menjawab untuk mentuntaskan semua itu dan secara instan dengan mudah kita dapatkan solusi dari teori-teori dan konsep pemikiran kita untuk selanjutnya dapat terdistribusi, tersosialisasi dan terinternalisasi kepada segenap warga komunitas (Bangsa Papua) secara konfrehenshif untuk mewujudkan cita-cita mulia yakni Papua merdeka besok pagi.
Mengingat scub pengguna jasa internet yang sangat terbatas bagi kebanyakan kita, orang Papua, mungkin tulisan ini jauh dari harapan itu, atau mudahnya saya katakan hanya dan kurang-lebih, dan lebih-lebih hanya sebagai suatu tinjauan disiplin konvensional yang jauh dari semua harapan itu, kecuali sekedar memberikan tambahan amunisi atau spirit tentang konsepsi Papua dari perspektif lain.
Karena itu tulisan ini sangat boleh jadi untuk tujuan jangka panjang sebagai sarana politic education dan sharring informasi untuk tidak memberikan kepastian kapan kita wujudkan sumua impian itu, selain dan ini tujuan pokoknya dari penulisan disini yakni sharring ide, sesama elemen gerakan pegiat Papua Merdeka, untuk menambah tambahan wawasan sesama anak bangsa Papua. Dan kita sangat bersyukur bahwa dengan adanya situs Komunitas-Papua ini, kita dapat saling berinteraksi serta bertukar informasi mengenai nasib diri, bangsa, serta tanah air kita Papua yang kita cintai bersama ini.
*** ***
Kebebasan, persamaan, keadilan dan kemanusiaan untuk menentukan nasib sendiri sebagai bangsa berdaulat merdeka
Senin, 05 Mei 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar