Pandangan dikhotomis, pihak lain adalah simplifikasi substansi persoalan, guna mereduksi realitas keinginan rakyat Papua memisahkan diri dari NKRI, untuk merdeka dan berdaulat penuh. Maka pola-pola devide et impera adalah lumrah belaka yang selalu dan sering dilakukan oleh aparat manapun sebagai pihak kolonialis, termasuk kasus perang suku antar warga Papua di Timika, sebagai upaya menciptakan wacana untuk merubah persepsi orang lain. Maka dengan sendirinya terbentuk sebuah persepsi, demikian opini menjadi terbenarkan adalah sesuatu yang sesungguhnya belum tentu benar.
Memciptakan opini, dengan memperhadap-hadapkan antar sesama masyarakat Papua adalah salah satu usaha aparat militer dan pemerintah kolonialis, bahwa kesiapan Papua untuk memisahkan diri belumlah siap. Usaha demikian secara memadai akan diciptakan guna memperlihatkan kepada dunia internasional, sekaligus sarana penciptaan wacana sehingga menjadi persepsi umum bahwa Papua terbelakang, kanibal dan berbagai stigmatisasi negatif lainnya.
Agar image masyarakat umum dan persepsi dunia internasional bahwa opini sebagai sarana penciptaan kesan umum yang dianggap sebagai kebenaran real menganggap bahwa untuk merdeka Papua Barat belumlah siap. Maka adu domba antar sesama rakyat adalah suatu tindakan masuk akal, yang biasa dilakukan oleh kolonialis manapun didunia termasuk dewasa ini di Timika Papua Barat.
Upaya demikian diciptakan selalu dan dilakukan oleh para aparatur pemerintahan kolonial dengan semangat kolonialis dan imperealis sebagai suatu sarana penciptaan asumsi kebenaran yang bernilai positif bagi mereka untuk melanggengkan hegemoni tiranik di wilayah jajahannya, tak terbantahkan bahwa hal itu dapat berimplikasi menjadi disharmonisasi dan inkonsolidasi, tegasnya; terpolarisasi internal masyarakat dalam menyikapi keinginana mayoritas rakyat untuk independent, antara memperjuangkan "M" atau menerima "O". Hal ini dapat diamati dalam dinamika perkembangan politik mutakhir di Papua Barat. Misalnya dalam menyikapi kasus tawaran otsus dan pemekaran wilayah menunjukkan hal ini menjadi nyata adanya.
Pluralisme Masyarakat Papua
Penting menyadari, kesadaran akan nilai positif, bahwa sesungguhnya pluralitas internal masyarakat Papua beserta dinamika penduduknya adalah suatu kekuatan sebagai bentuk idealitas demokrasi nasional Papua. Bahwa bangsa Papua Barat, sebagai sebuah negara modern yang diidealisasikan akan terbentuk sebagaimana negara demokrasi modern. Karena itu semangat optimisme positif akan nilai-nilai kemajemukan dapat diperkokoh sebagai satu kesatuan kekuatan nasionalisme Papua, merupakan landasan alami yang telah tercipta ada. Pluralisme sebagai infrasruktur sosial atau perangkat-perangkat sosial yang alami sudah kita miliki sebagai modal dasar menjadi sebuah bangsa plural yang demokratis.
Pluralitas adalah nyata dalam dinamika sosial masyarakat manusia dimanapun dunia, demikian juga dengan rakyat Papua Barat dewasa ini. Merupakan prasyarat utama dan terutama bagi Papua sebagai sebuah negara ideal yakni masyarakat demokratis, metropolis, modern yang diidealkan bangsa-bangsa modern di dunia dewasa ini, bahwa berbagai karakteristik, dan dinamika sosial budaya Papua adalah prasyarat utama Nasionalisme Papua.
Persoalannya adalah tinggal bagaimana merubah paradigma persepsi internal rakyat kebanyakan Papua bahwa pluralitas atau kemajemukan Papua adalah bukan saja alami, namun harus diciptakan, kalau tidak minimal mempertahankan yang ada karena bernilai positif. Pandangan ini berarti memandang bahwa keseluruhan rakyat Papua yang kini ada, tanpa mempermasalahkan etnik, keturunan, agama, bahasa, dan sebagaimana keseluruhan yang nyata ada di Papua adalah satu kesatuan bangsa Papua Barat. Demikian adalah tidak lain konsepsi nasionalisme Papua yang didealisasikan sebagai Nasionalisme Papua yang ingin dan harus diwujudkan.
Maka sesungguhnya Papua Barat telah memenuhi kualifikasi sebagai bangsa yang penduduknya plural demokratis dan modern. Demikian nyata perangkat (infrasruktur) sosial itu, yaitu dengan adanya pluralisme penduduk dari berbagai latar belakang dan etnisitas menunjukkan hal ini. Karena masyarakat plural, sebagai syarat utama civil society guna mewujudkan sebuah nation independent yang demokratis dan modern. Demikian realiatasnya, Papua Barat telah memenuhi semua aspek demokrasi sebagai sarana terwujudnya fatsun politik. Dinamika penduduk sebagai prasyarat utama, dan terutama (par exelence), sebagai sebuah negara Papua Barat yang demokratis akan tercipta kelak nantinya.
Pluralisme selain sarana inovasi peradaban, pluralisme sebagai bahasa lain dari kemajemukan adalah juga suatu estetika masyarakat yang maha unik, dari semua keindahan, karena menyangkut manusia dan disini letak seni keunikannya. Maka persepsi positif terhadap pluralisme bukan saja penting, namun terus harus ciptakan. Pluralisme menjadi sarana yang paling penting sebagai aktualisasi nilai-nilai demokrasi modern dalam pengertian sesungguhnya dari demokrasi modern yang dianggap ideal.
Papua Barat telah memiliki semua itu sebagai khasanah kekayaan, sekaligus keunikan yang berharga sangat tinggi. Karena hal demikian tidak dimiliki semua bangsa yang ingin berdaulat. Tinggal bagaimana mendorongnya agar usaha independensi Papua sebagai sebuah bangsa yang berdaulat dapat terwujud di Papua Barat, harus dapat didukung oleh semua element Papua adalah tugas dan tanggungjawab yang harus segera ditunaikan oleh seluruh komponent komunitas Papua tanpa kecuali. Darimanapun asal usul keturunanya, etniknya, warna kulitnya, bahasa ibunya, agamanya adalah tetap orang Papua asli.
Berbeda dengan optimisme demikian ini, yang berpandangan sebaliknya, menganggap jika terbentuk suatu regime berkuasa tentu berpotensi akan melakukan polarisasi rakyat Papua secara dikhotomis. Demikian asumsi pesimisme itu dengan argumentasi bahwa bukan sebagai suatu kekuatan nasionalisme Papua; sebaliknya diskriminasi; jadi, persepsi negatif, bahwa pluralisme masyarakat Papua adalah sektarianisme, tribalisme, dan primordialime akhirnya disintegrasi nasionalisme Papua. Karena itu keinginan pembentukan nation Papua yang independent adalah suatu hal muspra.
Sebagai akibatnya berasumsi demikian itu selalu mempertahankan Papua bagian tak terpisahkan dari NKRI, adalah suatu hal tragis. Penindasan, perampokan, perbudakan, pembunuhan, pembodohan yang kesemuanya itu adalah penghinaan manusia atas manusia, sedang terjadi didepan mata. Mereka ini harus menganggap bahwa lebih baik mengintegrasikan diri didalam nation yang telah ada, serta menerima otonomi sebagai alternatif terbaik dari pilihan independent Papua yang sektarian oleh akibat polarisasi dalam kemajemukan yang beresiko, diskriminatif dan otoriter mayoritas regime. Demikian pandangan sementara mereka yang pesimistik.
Karena itu asumsi mereka dibenarkan, bahwa antar sesama masyarakat Papua yang di anggap asli yang tersebar di Pegunungan Tengah Papua, disatu pihak dan Pesisir/Pulau dilain pihak, selalu ada ruang, ada nuansa, distingtif, tidak saja dalam pola persebaran pemukiman/domisili, etnisitas, budaya, akan tetapi juga dalam soal paradigma pendekatan perjuangan Papua M, selalu saja ada dan tetap ada nuansa pendekatan perjuangan.
Antara TPN/OPM yang violence dengan PDP/DAP yang disubdience adalah suatu kenyataan yang tidak saja memperkuat asumsi pihak lain akan adanya faksi yang dapat menimbulkan ketidakmampuan Papua untuk menentukan nasib sendiri. Namun juga menjadi alasan pokok pesimisme mereka sebagai dasar argumentasi dari realitas kenyataan yang tak terbantahkan adanya, bahwa kita Papua belum mampu merdeka, terlepas dari aneksasi Indonesia. Karena itu mereka dapat saja tidak mendukung malah menghambat sebagai rasa pesimisme oleh adanya dinamika internal Papua ini.
Pluralisme sebagai konsekuensi logis, natural kemanusiaan, yang sering dan selamanya dimana-mana karena berdimensi univerasal. Pluralitas adalah suatu keniscayaan manusia dimana, dan selalu ada pada masyarakat bagaimanapun. Pada era globalisme, pluralisme harus, karena itu wajib ada, karena itu tidak bagaimana, tapi itulah realitas kemanusiaan yang manusiawi selalu. Di Papua Barat demikian itu ditambah lagi dengan anasir-anasir baru, dalam proses menuju idealisme Papua Barat sebagai satu kesatuan bangsa yang dinamakan Nasionalisme Papua akan terbentuk oleh aneka warna kebudayaan yang masuk menyatu dalam budaya papua.
Akulturasi dan inkulturasi oleh akibat globalisme akan tercipta sebagai kebudayaan Papua. Adaptasi terus menerus oleh akibat transformasi nilai-nilai baru yang positif. Maka hendaknya adat dan kebudayaan Papua tetap harus dipertahankan. Memelihara dan mempertahankan nilai-nilai budaya Papua lama yang baik dan menggambil yang baru yang lebih baik adalah suatu keharusan bagi kita.
Bahaya Sektarianisme Papua
Nasionalisme Papua, maka dengan demikian secara harmonis akan tercipta pada masa-masa kedepan ini. Karena itu optimisme selalu harus di miliki orang Papua tanpa menganggap hal itu sebagai-negatif. Sebab apa yang dinamakan demokrasi, dalam pengertian secara universal akar-akarnya sudah kita miliki dalam budaya kita, budaya Papua, disegala suku bangsa Papua secara keseluruhan (lihat Artikel: Ismail Asso, Nasionalisme Papua, 2006). Karena tidak ada tempat, dan satupun dalam budaya kita, budaya Papua mengajarkan diskriminasi antar sesama manusia, sehingga dapat menimbulkan dikhotomisasi, polarisasi yang akibatnya benturan antar kebudayaan.
Sektarianisme yang berpotensi polarisasi yang berakibat disintegrasi internal Papua harus diarahkan pada persepsi potisif adalah usaha senantiasa dan terus menerus sebagaimana pengertian demokrasi difahami dewasa ini. Bahaya benturan kebudayaan dalam pembentukan nasionalisme Papua yang demokratis dalam era kedepan ini akan terus namun secara kasat mata terkesan menyatu dalam permukaannya, namun tidak demikian yang berkembang dibawah kesadaran yang tidak teramati.
Maka bagi yang pesimistik hal demikian itu cukup mengawatirkan, dan menganggapnya berbahaya, akibat negatifnya dapat menimbulkan polarisasi, tidak saja pada tataran interaksi sosial masyarakat bawah/awam dilapangan, namun demikian kekhawatiran itu juga dapat terjadi pada level elit intelektual. Hal ini dapat menimbulkan masalah yang cukup pelik, karena tidak bukan saja terjadi pada scube (tataran) masyarakat gress root, namun justeru yang terjadi pada level/tataran kaum elit intelektual.
Padahal idealnya, sebagai kelompok elit, meletakkan dasar-dasar gerakan perjuangan selalu merujuk pada konteks sosial budaya Papua, guna membangkitkan nasionalisme Papua, tanpa terjebak pada simbol-simbol sektarian. Para elit inteletual sebagai konseptor seharusnya tidak, karena itu memang jangan, terjebak pada polarisasi yang terkesan sektarianme antara sesama penduduk yang dinamai sebagai penduduk Papua.
Egosentrisme elit intelektual terkemuka Papua yang diikuti dan dan diamati, sejauh yang teramati kesan demikian bukan tanpa bukti dan hanya isapan jempol, karena ada namun tidak menutup kemungkinan tidak ada harus benar-benar tidak boleh ada, karena memang tidak baik ada, dari yang memang ada itu.
Sektarianisme bermula dari egosentriisme pemahaman dan pandangan serba mutlak; mutlak kebenaran, mutlak pemahaman, mutlak kebaikan, tanpa ada ruang dialektika. Karena itu selalu dogmatis, tertutup, tanpa ada redefinisi atau reintrepretasi nilai-nilai doktrin tanpa terlebih dahulu di perdebatkan dipublik lebih dahulu, kecuali selalu harus mutlak benar dan wajib ditaati.
Demikian itu dapat terjerumus pada thrus claim, diri sendiri yang paling benar. Kebenaran diborong diri sendiri, seakan orang lain tidak punya kebenaran. Pandangan menyangkut Papua Merdeka bila yang ada model pandangan begini, sekalipun memang yang ada demikian, maka bukan tidak mungkin kita hanya menunggu waktu saja, semua kekayaan Papua habis, dikuras, dirampok, oleh Binatang Indonesia dan Anjing Amerika.
Perjuangan hanya tinggal perjuangan, tidak ada yang tersisa. Lalu dimana peran dan tanggungjawab kita? Sebagai Intelektual, Pendeta, Pastor, Ulama dan Cendikiawan Papua? Dimana tanggungjawabmu, wahai para intelektual (pendeta, pastor, ulama) dan sampai dimana usahamu membawa keluar Papua, agar kekayaan ada tersisa sedikit demi anak cucu nanti? Mengapa membiarkan diri mereka terus mati dibunuh, dikejar-kejar ditanah air sendiri Penyakit mematikan, HIV/AIDS, tidak ada lagi generasi muda usia produktif yang tersisa? Tidak lihatkah kalian, padahal mereka sekarang ini hanya menunggu mati?
Sektarianisme adalah akibat egosentrisme, tapi biasanya egosentrisme bermula dari anggapan, subyektif, kita, akan benar mutlak sendiri, trush claim dapat menimbulkan disintegrasi antar sesama komponent komunitas Papua kedalam, (internal Papua), pada akhirnya menjadi tidak produktif dalam kondisi Papua harus berjuang memebaskan diri.
Primordialisme Positif
Adalah hukum alam, (kodrati), bahwa kita manusia adalah pribadi otonom, sejak lahir, kita mengenal diri sendiri, yaitu mulai dari Ibu-ayah sebagai orang tua yang melahirkan kita, kerabat dekat/saudara, saudara sekampung dan seterusnya sebagai sesama warga negara. Ini semua adalah alami unsur apa yang dinamakan primordialisme. Namun lingkungan interaksi sosial kita pertama menjadi terabaikan sejak kita berinteraksi dengan nasionalisme, namun primordialisme selalu dan selamanya akan mengingatkan kita pada akar.
Tapi kemudian dalam masa tertentu kita sering dan selalu harus menjadi rindu, begitu tiba-tiba saja apabila menghadapi masalah, problema hidup, untuk kembali mengadukan kepada orang yang paling terdekat. Kita selalu merasa rindu ketika kemudian kita menjadi beraneka ragam (pluralisme), ingin pulang kampung, ingin berkumpul dengan orang terkasih. Maka yang demikian itu adalah sesungguhnya yang dkita namakan dengan Primordialisme positif. Namun yang negatif adalah primordial kesukuan, egosentrisme, menganggap diri, suku dan kelompok sukunya yang hebat, dan karena itu tidak mau menerima sesuatu kebenaran kalau sumbernya bukan dari kebenaran kelompoknya.
Karena itu yang harus ditanamkan adalah jiwa Nasionalisme Papua, dengan mengkontruksi kembali dari akar-akar budaya Papua sendiri. Guna memupuk persatuan dan kesatuan bangsa, sebagai Bangsa Papua Barat, bertanah air tanah Papua Barat. Bangunan kerangka baik yang kita sebut sebagai Nasionalisme papua adalah rasa solidaritas antar sesama anak bangsa Papua yang terdiri dari, masyarakat pegunungan, lereng, lembah, hulu sungai, pesisir laut, pulau dll.
Keunikan sebagai unsur alami primordial adalah hanyalah faktor kebetulan saja, dan secara tiba-tiba tanpa kita pernah merencanakanya dalam arti untuk kita menjadi berbeda secara dikotomis negatif. Semua adalah hukum alam, semua begitu saja adanya, mengalir, dan kita hanya mendapati itu baru setelah bertemu dengan yang lain, akhirnya, kita mendapati diri, lalu mengindentifikasi diri sebagai misalnya Si Ismail Asso, hanya semata-mata karena saya setelah saya mengetahui primordial diri saya yang otonom selalu dan selamanya itu, namun juga memiliki potensi wajib mengenal.
Mengenal, mencari tahu, mulai dari tanda, simbol, sampai belum usai mengenalnya terburu habis usia. Primordialisme adalah hal yang sifatnya alami atau menjadi ada lahir, disini, dengan indentifikasi sebagai nama, agama, marga ini-itu.
Primordialisme difahami secara positif yakni sesuatu keunikan pribadi yang sudah ada dalam diri kita ketika tiba-tiba kita mendapati diri kita lahir ada didunia, hadir dimuka orang lain/manusia lain, baik yang kerabat, saudara dekat-jauh maupun orang yang sama sekali baru kita mengenalnya. Menjadi akhirnya kita mengerti siapa saya, maupun dengan sesama anak manusia yang secara bersama mendiami tanah suatu wilayah, dalam hal kita Papua Barat dewasa ini. Nasionalime Papua adalah rasa kesatuan dan persatuan yang akar-akarnya dapat di gali dari aspek kesukuan yang bersifat primordial positif.
*** ***
Kebebasan, persamaan, keadilan dan kemanusiaan untuk menentukan nasib sendiri sebagai bangsa berdaulat merdeka
Senin, 05 Mei 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar