Judul tulisan ini penulis terinspirasi oleh coretan seorang Remaja Palestina, "Negeri Kami Tak Pernah Damai". Demikian, ungkapan perasaan seorang remaja Palestina, di Tepi Barat Yerussalem di Negeri Israel.
Dalam program TVRI, "Dunia Dalam Berita", tahun 1990-an, pernah memberitakan siarannya, tentang sebuah coretan di tembok, yang berasal dari seorang remaja Palestina. K emudian direkam oleh wartawan asing yang kebetulan melintas di wilayah itu. Lalu wartawan ini tertegun melihat, suara hati seorang anak remaja yang begitu mendalam, namun tidak begitu jelas kepada siapa sasaran pengaduan itu ditujukan.
Kepada siapa sasaran dari relung hati terdalamnya itu ditujukan anak remaja seusianya yang jarang dilakukan orang dimanapun itu? Begitu mendapati tanah air negerinya sedang kacau dan selalu perang, dia menggoreskan sebuah kalimat ditembok, “Negeri Kami Tak Pernah Damai”, sungguh luar biasa mendalam maknanya bagi kita. Karena dirinya dan remaja seusianya di paksa dan terpaksa harus berperang dan melawan dengan peralatan senjata tak seimbang.
Remaja se-usia dia dan kaumnya melakukan perlawanan dengan senjata seadanya, hanya satu tekad merdeka dan tujuan mempertahankan diri dan tanah air dari penjajahan Israel dan kolonialisme internasional (baca Amerika-Barat), yang secara paksa tapi juga secara kecam mencaplok negeri, tanah air mereka. Untuk membebaskan diri, batu dan ketapel adalah senjata remaja Intifadhah, dan HAMAS versus Israel dengan senjata mutakhir, tank-tank dan F16-nya.
Kehadiran tentara Israel yang dibelakngnya Amerika dan Barat, siap mengancam nyawa siapaun, tanpa ampun, disetiap saat, disetiap tempat, didaerah pendudukan Israel (Palestina) jika ada perlawanan rakyat Palestina. Setiap remaja Palestina seusianya, yang harusnya, kalau dinegeri lain asyik belajar dan menjalani kehidupan penuh dengan cita-cita masa depan, sebagaimana umumnya remaja lain dunia. Dia harus ambil bagian dalam barisan perlawanan membebaskan Tanah Air negerinya yang dicaplok Israel.
Karena setiap saat yang ia dapati adalah suatu Negeri yang terus kacau, berperang. Selalu ada darah, ada air mata, ada suara isak tangisan, seorang ibu yang kehilangan putranya oleh peluru tajam senjata Israel. Dimana-mana seluruh sudut negeri, ada deru-deru bunyi senjata yang kecam tanpa perikemanusian. Adalah kenyataan senantiasa, yang didapati di negeri yang ia cintai, (PALESTINA) dimana ia dilahirkan. Maka dia seakan ingin mengatakan kepada dunia, lalu dia menggoreskan sebuah kalimat ditembok: “Negeri Kami Tak Pernah Damai”. Demikian suara hatinya tanpa mengerti kenapa dirinya tidak seperti layaknya remaja di negeri lain. Dan kapan bisa damai agar ia hidup tanpa semua itu. Sehingga kelak dia dapat merencanakan hidup nanti.
Bunyi goresan tulisan di tembok tadi adalah suatu ungkapan yang tidak begitu memerlukan jawab dan juga tidak begitu jelas kepada siapa ditujukan, disini, kita sangat tergugah. Juga termasuk oleh wartawan asing yang kebetulan melintas dan merekam relung hati remaja Palestina itu. Tidak damai didapatinya disini, banyak orang dibunuh, tanah dirampas orang lain, tanpa ujung pangkal kapan usai semua ini, semua belum begitu jelas baginya.
Malahan ia merasakan dan yang ada bahwa,"Negeri Kami Tak Pernah Damai", yang bagi kita, terlalu mendalam untuk difahami maksudnya anak seusianya dirinya. Apalagi untuk dimengerti oleh seorang remaja, yang masih jujur, tanpa dosa mendapati negeri leluhurnya penuh dengan desingan bunyi peluru dan senjata berat, darah, kematian setiap minggu, bahkan setiap hari dilaluinya tanpa ia harus mengerti salahnya.
Namun lebih dari itu bagi kita kepada siapa tulisan ini ditujukan, adalah misteri lain, yang pasti kalimat tulisan pendek ini memiliki makna yang sulit dilihat, dalam konteks penderitaan manusia, yang tidak di rasakan dan tidak dialami bangsa lain yang telah bebas dan merdeka negerinya. Makna terdalam kalimat ini ditujukan kepada yang Maha Hadir, Yang Maha Meliputi, yang transendental, yang tak terjangkau oleh akal manusia. Makna terdalam tulisan ini sama seperti yang dirasakan oleh mereka yang meminta suka politik di negeri orang. Bukankah demikian yang terjadi pada Remaja dan Mahasiswa di Papua saat ini?
Jangan tanya saya apa maksudnya dan hubungan dengan permintaan suaka bagi anak negeri yang tertindas dan terusir hanya semata-mata karena mereka punya tanah, tiada lain, dan menyatakan ini tanah air kami Bangsa Papua. Namun ada cerita singkat; Bahwa: Suatu ketika, Syekh Jalaluddin Ar-Rumi, memberikan kuliah di suatu majelis halaqoh.
Riwayat lain menceriterakan Syekh, sedang membimbing para mahasiswanya, di suatu perpustakaan dengan berbagai koleksi kitab lengkap. Tiba-tiba, muncul seorang tua yang menampakkan, bahwa ia adalah seorang udik yang dekil dan kotor. Hal itu menandakan ia berasal dari dusun yang tak beradab, barbar. Karena itu ketika ia tiba dipintu dan masuk dalam ruang perpustakaan, untuk bergabung, ia diacuhkan begitu saja. Dia dianggap seorang badui yang pas lagi lewat dan ingin mendapat makanan sisa dari majlis terhormat Syekh Jalaluddun.
Namun beberapa saat kemudian, begitu tiba-tiba, tanpa diduga, ia bertanya pada Sang Guru Besar, Pangajar Majelis Terhormat, Syekh Jalaluddin Ar-Rumi, tentang apa nama kitab yang terdapat di sudut lemari yang ada di ruangan itu. Sang Guru tidak menjawab atau mengatakan apa-apa untuk menjawab pertanyaan orang Tua udik itu.
Karena orang seperti dirinya yang menunjukkan kumuh dan tak terpelajar tidak akan faham apapun yang akan dikatakan Sang Guru Besar. Maka sang Guru Besar berfikir, bahwa pertanyaan Orang Tua itu tidak perlu dijawab, sebab tidak bermanfaat untuk dirinya yang nantinya juga tidak akan mengerti, karena hanya membuang-buang waktu saja. Namun Sang Tua, menanyakan petanyaan sama kali ketiga, yang sesungguhnya, sangat mengganggu Majlis terhormat. Karena pesertanya dari berbagai negeri jauh yang menunjukkan kelas elit majelis. Maka sambil lalu dan secara tidak serius ia jawab ala kadarnya saja dengan jawaban; “Engkau tidak akan mengerti”!
Demikian Jawaban yang diberikan Sang Guru dihaloqoh itu. Jawaban demikian ini sangat menyinggung perasaan si Tua yang lusuh ini. Tanpa pamit sebagaimana pada awal ia hadir secara baik-baik di tempat itu. Orang Tua yang lusuh dan udik ini beranjak pergi meninggalkan Majelis tanpa kata-kata. Disaat itu juga begitu tiba-tiba, buku yang ditunjuk dan diminta sebutkan namanya oleh Sang Pengajar halaqoh tadi, terbakar begitu tiba-tiba, membuat tidak mengerti Sang Guru halaqoh.
Lalu Sang Guru meminta Sang Tua, apa gerangan, hingga ini tiba-tiba terbakar. Sambil berlalu dan beranjak pergi meninggalkan tempat itu, Sang Tua, dengan ucapan seperti juga jawaban Sang Guru, atas pertanyaan Sang Tua, dia menjawab: “Engkau tidak akan mengerti”! Ia meninggalkan majlis itu tanpa jelas kemana arah yang dituju, membuat tidak percaya dan bingung tapi juga tidak mengerti sang Guru Besar, Syekh Jalaluddin Ar-Rumi.
Maka dari sini, lahirlah Karya Buku, syair-syair cinta, menandakan arti kerinduan mendalam Sang Guru pada Sang Tua, yang sangat terkenal dan masyhur, Jalaluddin Rumi, yakni Kitab: “Syamsi At-Tabriz”. Karena syair-syair cintanya yang sangat dasyat, mengharu-biru dan menderu-deru bagi hati yang tertawan akan kerinduan pada Sang Kekasih Misterius.
Arti keindahan Syair Kitab Syamsi At-Tabriz, yang mendalam menunnjukkan disini, kerinduan Sang Guru Besar pada Sang Tua Misterius, yang dikemudian hari, menjadi guru sang guru besar. Banyak hikmah yang tidak pernah bisa kita mengerti dibalik semua ini.
Wallahu a'alam bishowab.
*** ***
Kebebasan, persamaan, keadilan dan kemanusiaan untuk menentukan nasib sendiri sebagai bangsa berdaulat merdeka
Senin, 05 Mei 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar