STUDY PEMBEBASAN PEMIKIRAN
Kebebasan Pemikiran Lebih Penting
Catatan Untuk Saudara HW.
Setelah membaca surat "klarifikasi", Saudara HW, saya berkesimpulan bahwa agenda paling penting didahulukan lebih dulu sekarang adalah pembebasan pemikiran rakyat Papua umumnya dan lebih khusus para pejuang generasi muda. Pembebasan tanah Papua dengan batas wilayah teritorialnya sebagai negara Papua Barat (West Papua), yang diproklamirkan pada 1 Desember 1961, agenda lain yang tak kalah penting adalah pembebasan pemikiran para pejuang Papua.
Pembebasan pemikiran bagi pejuang muda layaknya saya (IA) dan HW, akan menjadi perhatian dan fokus tulisan disini. Karena selama ini dirasakan kurang dalam hal refrensi konsep perjuangan politik sehingga selalu menuai kegagalan, tidak lain, oleh akibat kedangkalan pemikiran dan kurangnya refrensi politik perjuangan berpengaruh langsung kegagalan action dilapangan. Demikian juga berpengaruh pada persepsi pejuang dalam mengambil keputusan perjuangan pembebasan.
Kegagalan selama ini lebih banyak disebabkan karena gerakan perjuangan Papua tidak dibangun diatas kerangka teori yang benar dan sistematis. Sebagai akibatnya perjuangan selalu gagal ditengah jalan tanpa tindak lanjut oleh organ perjuangan lain. Kesan dan kuat dugaan bahwa dari dulu perjuangan tidak ditempuh secara terorganisi, terkoordinasi antar berbagai organ kekuatan perlawanan pembebasan secara sinergis untuk memainkan peran masing-masing dan fungsi perjuangan yang saling menunjang. Tapi sebaliknya perjuangan ditempuh secara sporadis, partial, isindental, jalan sendiri, tanpa koordinasi dan terorganisasi antar sesama potensi kekuatan perjuangan Papua.
Selama ini tampak sekali terlihat bahwa perjuangan pembebasan Papua hanya manuver segelintir orang bersifat partial dan sporadis, tidak beres selesai. Kesan karena itu, hanya mencari popularitas saja, dan mengaku dapat legitimasi rakyat dan menuduh pejuang lain sebagai kaki tangan BIN, NKRI, binaan kolonialis, pertanda bahwa kita selama ini belum mengorganisir diri dan terkoordinasi baik antar pejuang tapi berjalan masing-masing. Disamping itu kematangan dan kesiapan konsepsional para pejuang menyentuh langsung pada kelemahan perjuangan pembebasan Tanah Air Papua Barat.
Padahal suatu perjuangan, apalagi perjuangan mendirikan sebuah negara, berarti berbicara sebuah organisasi besar. Maka mutlak perlu sebuah organisasi sebagai bayangan organisasi mencirikan sebuah negara yang akan didirikan. Dan ini harusnya terlihat dalam organisasi perjuangan. Tapi apakah organisasi perjuangan negara yang akan di impikan sebagai negara Papua Barat itu, reinkarnasinya ada dalam PDP, OPM, ataukah MRP? Tidak jelas, organ mana, sebagai cikal bakal organisasi besar, negara Papua Barat mau dimaksudkan itu.
Berarti disini dibutuhkan ada kesediaan para pemimpin, mematikan egosentrisme, sektarianisme, kemudian masalah kebangsaan Papua Barat dibawa ke forum para pemimpin, duduk bersama, mau mendengarkan satu sama lain, semua para pemimpin sepakati, kerja bersama, tentukan organisasi, susun structur, sebagai oraganisasi besar negara itu sebagai bayangannya mau ditunjuk organisasi mana dan siapa pemimpin dan lengkapi semua dewan pengurusnya.
Hal ini penting mau diperhatikan disini karena menyangkut waltanchauung (falsafah negara), terutama menyangkut keutuhan nasional Papua Barat kedepan. Kelemahan juga terlihat berbagai aksi anak-anak muda Papua yang terkesan sporadis tanpa perencanaan matang dan terarah. Pejuang muda kurang refrensi guna pembebasan negerinya, Papua Barat. Sebab perjuangan tanpa konsep dan perencanaan matang hasilnya selalu gagal, partial, tidak konprehenshif sekaligus.
Pentingnya pembahasan tema disini adalah, guna mencari formulasi baru, mencari akar permasalahan kelemahan, bagi penyelesaian masalah Papua secara menyeluruh. Perdebatan karena itu bertujuan untuk mencari solusi bukan sebaliknya. Dan manfaat lainnya adalah pendidikan politik (politic education), bagi rakyat dari belenggu penjajahan pikiran mau diakhiri disini. Maka memahami teori perjuangan secara mapan dari berbagai refrensi adalah salah satu usaha membebaskan diri dari kesesatan pikiran dan aksi perjuangan pembebasan. Demikian juga bahwa penerapan suatu konsep yang dipahami secara baik senantiasa dapat diaplikasikan dilapangan sebagai manfaatnya.
Karena itu agenda lain paling penting bagi Papua menurut saya adalah agenda pembebasan pikiran bagi pejuang generasi muda. Pembebasan pemikiran aktivis Papua, dirasakan kurang refrensi, sehingga selama ini terlihat tidak pernah melahirkan suatu gerakan dengan ledakan revolusi rakyat secara massal, berpengaruh besar dan radikal kecuali rombongan permohonan suaka Herman Wainggai ke Autralia dianggap lebih baik tapi tidak dielaborasi pejuang lain.
Karena selama ini kita dalam pemikiran seringkali sulit melepaskan diri dari hal-hal yang tidak masuk akal, mitos, tidak bermanfaat karena bersifat tidak pasti. Artinya rasa kebergantungan (dependence) terhadap obyek diluar diri sangat tinggi pada pejuang muda Papua. Sehingga pembebasan Papua tidak konprehenshif tapi dirasakan partial.
Tuhan Tidak Merubah Nasib Papua
Oleh sebab itu, jika tidak ada pemikiran independent dari kaum muda bukan saja kegagalan terus menerus, tapi kesesatan mencapai tujuan pembebasan. Padahal sebagai pionir sekaligus motorik pergerakan, generasi muda Papua, sangat diharapkan maju tampil kedepan membawa keluar rakyat dari, kebodohan, keterbelakangan, kemiskinan, dan penjajahan yang berdampak pada nasib penistaan dan penghinaan bangsa asing. Karena itu pejuang muda tidak boleh kekurangan refrensi politik perjuangan pembebasan. Sehingga harapan merdeka digantungkan pada Tuhan, dan mau membiarkan semua terjadi secara alami sesuai kehendak Tuhan.
Jika pemikiran dependent demikian masih ada pada kaum muda niscaya harapan membebaskan diri tanpa mau diusahakan sendiri oleh manusia Papua, hasilnya kapanpun Papua tidak akan merdeka tapi terus dijajah. Membudak pada Tuhan tanpa mau berusaha sendiri adalah suatu paham vatalisme berbahaya. Padahal wacana tentang ini di Eropa pada abad ke 16 melahirkan Agama Protestan yang memisahkan diri dan dipolopori oleh Martin Luhter dari Jerman sebagai anti thesa dari dominasi otak dan peimikiran manusia pada Tuhan (atau Gereja) yang membelenggu kebebasan manusia. (Frans Magnis, Menalar Tuhan, 2007).
Jika harapan kemerdekaan sepenuhnya diharapkan dari Tuhan, ---padahal Dia, sama sekali tidak berperan, apalagi wacana tentang Papua, (ko mo merdeka ka...ato dijajah NKRI ka… ko mo hidupka... ato mati bodok-bodoka..., Tuhan tidak peduli) --adalah suatu paham vatalisme, karena itu berbahaya bagi nasib perjuangan pembebasan Papua. Sangat riskan memang, jika paham demikian masih bercokol di otak dan menghinggapi pikiran para generasi muda Papua. Padahal paham vatalisme lebih berbahaya dari racun HIV/AIDS Papua sekalipun, jika paham demikian masih dibiarkan terus hidup dan bercokol diotak rakyat Papua, sampai kapanpun rakyat tidak akan bisa merdeka. Malahan akibatnya percepatan proses ecosida dan genosida sekaligus.
Kalau begitu generasi muda Papua mau pilih mana, membiarkan Papua dengan paham vatalismenya, yaitu suatu teori pemikiran yang memberikan peran kepada Tuhan berlebih dan mematikan kreatifitas dan usaha sendiri atau dalam konteks ini, Tuhan buat kita merdeka, orang Papua diam tanpa mau berusaha susah payah, sebab semua rencana Tuhan, Dia kemerdekaan bangsa Papua. Ataukah rakyat Papua berusaha sendiri memerdekakan (membebaskan) diri sendiri? Paradigma pemberian otoritas berlebih kepada Tuhan terbukti selama ini hasilnya adalah kemundurun, jika dibiarkan maka hasilnya unnihilasi etnis Papua dan harapan merdeka dengan batas teritori West Papua hilang dari peta dunia.
Karena itu pemikiran HW, menurut saya berbahaya bagi pembebasan. Malahan mengulangi kesalahan PDP, karena pemikiran HW, mirip PDP, yang banyak dikritisi dalam berbagai kesempatan. Perjuangan dengan memberi peran reformasi pada Tuhan bukan membebaskan dan mendamaikan, sebaliknya, menggagalkan idealisme Papua, dengan berbagai akibat dan kerugian tidak sedikit. Karena seperti teori PDP, misalnya "pendekatan damai" terbukti bukan kedamaian tapi kekacauan baru, dan dampak kekerasan dimana-mana seperti pemekeran daerah, penyakit HIV/AIDS, pengerukan kekayaan alam, proses ekosida secara sistematis. Karena teori perjuangan damai tidak menyelesaikan masalah tapi bawa masalah baru yaitu :
1. Krisis Kepemimpinan, yang berakibat pada
2. Ketiadaan kepastian politik Papua Barat
3. Kebuntuan penyelesaian masa depan Papua Barat Merdeka
4. Survival eco-sida dan manusia sekaligus (genosida)
5. Mentalitas complex imperiority di pihak seluruh pemimpin Papua
6. Sikap mental depedent di pihak rakyat Papua.
Sebagai akibatnya, kita biasanya menyerahkan nasib pada Tuhan, persis harapan HW dan teori perjuangan PDP, pada saat kekerasan berlangsung. Sebagai akibat ketidakmampuannya orang, ---ada suatu pembenaran yaitu teori disub-dience, tapi konteks sosial budaya Papua teori dari agama Hindu-Budha India yang tokohnya Mahatma Ghandi ini tidak kontekstual ---sebagai pelarian, biasanya mengharap Tuhan dan menganggap Dia akan membebaskannya. Kalau teori campur tangan Tuhan masih juga menghinggapi alam pikiran HW dan PDP, termasuk pemimpin lainnya Papua. Maka yang urgen sekarang adalah pembebasan pemikiran para pejuang harus dibebaskan lebih dulu dari pada perhatian mau membebaskan rakyat dan Tanah Air Papua secara seluruhnya dengan sendirinya adalah tujuan utama penulisan disini. Kita belum dapat beranjak diskusi lebih jauh apalagi berfikir sanggup membebaskan orang lain sebelum sanggup membebaskan pikiran sendiri. Tuhan dan teori harapan melingkupi pada-NYA, sesungguhnya menurut Frederick Nietzche pelarian dari rasa kekalahan hidup, untuk hidup sebagai Tuan, tanpa Tuhan. (Frans Magnis, 1997).
Jika para pemimpin mengantungkan nasib perubahan kepada Tuhan, maka hasilnya sudah ditebak, Papua tidak pernah bisa merdeka. Sebab para pemimpinnya memiliki mentalitas membudak dan menyerahkan nasibnya pada Tuhan. Padahal vatalisme sejak dini dikritik habis Friedrich Nietzsche. Karena akibatnya justeru mentalitas budak, kalah, tidak mampu membebaskan diri, tidak berusaha, tapi menunggu keadilan Tuhan sudah ditinggalkan lama di Barat Kristen pada abad 16 (5 abad/500 tahun) lalu di Eropa.
Apakah juga selama ini kita lebih sering menyerahkan nasib kemerdekaan Papua pada Tuhan? Jika harapan merdeka diserahkan pada Tuhan maka bukan saja harta kekayaan kita serahkan dilumat habis oleh penjajah dan kapitalis Amerika. Tapi nyawa dan nasib masa depan Papua tidak menentu terus-menerus selamanya berakhir dengan kepunahan di pihak kita, orang Papua. Saya tidak yakin Tuhan bekerja buat kita Papua merdeka, tapi hanya pikiran kita saja.
Tuhan atau Iblis sesungguhnya tidak ada peran sama sekali, dalam proses kemerdekaan orang Papua. Karena itu pikiran kita yang sesungguhnya bukan tuhan, yang membuat/melahirkan pikiran seakan tuhan sanggup buat kita bisa merdeka. Padahal sama sekali tidak, hanya pikiran dan angan-angan kita belaka, atau barang kita yang buat baru kita bilang tuhan ada buat/bekerja. Padahal kapan Tuhan bekerja bersama orang Papua, misalnya panggul senjata masuk hutan gabung dengan OPM? Sama sekali tidak! Malah saya tidak rela menyerahkan harta kekayaan alam Papua dan nasib merdeka kepada siapapun termasuk Tuhan.
Silahkan saja sebahagian kita, tapi saya, sungguh tidak yakin pada Tuhan bekerja bersama buat Papua merdeka. Karena itu tidak mau menyerahkan nasib kepada siapapun termasuk kepada Tuhan. Tanah saya, nasib kebebasan saya, saya tidak pernah mau menyerahkan kepada siapapun walau sejengkalpun entah kepada, “engkau”, wahai penjajah, juga kau Amerika, termasuk tidak juga kepada Engkau, wahai Tuhan. Sebab suku dan bangsa saya, bangsa Papua adalah Tuan dari Tanah Air Papua, bukan siap-siapa apalagi kamu, kaum asing, tiada tempat disini keduaan Aku dalam ke Akuan hakiki, Bangsa West Papua.
Saya bukan tanpa bukti, nenek moyang saya di Lembah Balim pada waktu orang-orang Barat bawa agama, dibunuh, ditolak, dan status tanah tetap dimiliki manusia sejati, manusia Papua, tanpa mau menyerahkannya pada Tuhan. Tanah kami tidak pernah mau menyerahkan kepada siapapun termasuk kepada Tuhan, kecuali hak pakai untuk tempat ibadah. Manusia Papua, siapapun diajarkan oleh nenek moyangnya, bahwa kepemilikan tanah adalah kepemilikan kolektif marga atau klen. Karena itu sama sekali tidak masuk akal dengan kata-kata HW berikut ini :
"Hal ini saya sampaikan karena BAHASA YANG KITA TULIS DI INETRNET TIDAK SELAMANYA sejalan dengan pikiran manusia PAPUA BARAT, tapi didalam kuasa PIMPINAN TUHAN ALLAH BAPA DISORGA maka semua latar belakang strategi -strategi kehidupan pandangan yang berbeda akan disatukan dalam kedaulatan rencanaNYA, dan itu sudah pasti, pasti dan pasti DI WAKTUNYA ALLAH maka saudara dan saya sebagai seorang yang beriman atau kepada kita semua sebagai political activisit akan duduk dan bicara untuk kepentingan umatNYA di tanah INJIL...TANAH PAPUA BARAT!"
Orang Papua tidak boleh menyerahkan tanah, isi kekayaan alamnya kepada siapapun termasuk Tuhan, penjajah dan Amerika. Pencurian emas di Timika oleh asing menurut konsepsi Adat-Budaya Papua tidak boleh/pantangan. Kita tidak boleh menyerahkan tanah air kita Papua Barat kepada siapapun, termasuk pada Tuhan. Kita adalah penguasa dan pemilik sah Tanah Papua, bukan Tuhan, bukan UUD Pasal 33 ayat 2 dan 3. Sama juga Amerika selama ini sebagai kapitalis mencuri emas di Timika, menurut hukum Adat Papua tidak sah. Mereka semua pencuri, perampok, diatas tanah kedaulatan wilayah manusia sejati dan penguasa sesungguhnya, manusia Papua.
Karena itu perjuangan tanpa pemikiran independent sesat, aksi tanpa teori gagal. Tapi teori tanpa aksi hanya mimpi atau utopia. Paling penting pejuang muda Papua seperti Saudara HW, dan saya banyak menelaah misalnya teori pembebasan, Karl Marx, Freud, Feurbeach, Frederick Nietzche, seperti 'Mentalitas Tuan dan Budak'. Tujuannya membebaskan pemikiran diri para pejuang agar dalam misi mulianya tidak sesat jalan. Jika tidak perjuangan hanya parsial, tidak konperhenship, akibatnya ekosida.
Perjuangan membebasakan diri dan tana air West Papua dari penghinaan dan penistaan tanpa pembebasan pemikiran diri sendiri menjadi selalu tanpa koordinasi dan organisasi selamanya sebagaimana rombongan saudara HW ke Australia, hanya manuver tanpa follw up, akhirnya mati begitu saja. Lalu apakah saudara--saudara kita itu akan dipulangkan atau tetap tinggal di tanah sambungan dari negeri leluhurnya sendiri itu? Hasilnya kita tidak tahu. Element perjuangan OPM tanpa pembebasan pemikiran sendiri para pejuangnya hasilnya mudah ditebak, menggantungkan harapan pada Tuhan.
Tapi paling penting diingatkan disini adalah apakah kita mau menyerahkan Papua kepada Tuhan agar memerdekakan orang Papua, ataukah harus kita sendiri, orang Papua, yang harus berusaha sendiri tanpa mengharapkan siapa, orang lain, termasuk Tuhan, mau membebaskannya? Silahkan pilih sendiri, jalan mana yang mau ditempuh dengan berbagai imlplikasi masing-masing sebagai akibatnya. Saya disini hanya mau kastau saja, kawan-kawan generasi muda Pejuang Papua mau pilih mana, jalan pikiran HW dengan teori, menunggu Tuhan bekerja, atau orang Papua mau berusaha sendiri memperjuangkan kemerdekaannya, dengan berbagai cara dan usaha, jawabannya dikembalikan pada para pembaca sekalian.
Tapi bagi saya pribadi bahwa kalau wacana pemikiran seperti Saudara HW begini mau dibiarkan terus hidup, implikasinya yaitu sikap kebergantungan (dependent) total tanpa mau usaha sendiri oleh manusia, manusia Papua. Contoh kasus hasil keputusan kongres Papua ke II PDP di GOR Jayapura (Port Numbay), dengan pendekatan "perjuangan damai". Implikasinya mentaliltas depedent, complex imperiority (rasa rendah diri) dipihak rakyat Papua saat ini berlangsung, tanpa pernah disadari oleh rakyat dan para pemuka masyarakat Papua sekaligus. Jika wacana pemikiran vatalisme atau juga messianisme ada pada generasi muda Papua sebagai pemegang tongkat estafet kepemimpinan masa depan perjuangan kebebasan bangsa dan negara Papua Barat, maka nasib dan harapan merdeka terus terkatung-katung, sementara nyawa, harta kekayaan alam dikuras habis oleh kolonialisme dan kapitalisme internasional.
Jika masih ada banyak dari kita, rakyat dan pejuang muda Papua, dalam otak pemikirannya mengandung “virus” persis dimaui HW, yaitu vatalisme sekaligus messianisme dengan banyak peran perjuangan diserahkan kepada Tuhan, manusia Papua hanya menunggu dan terus menunggu, Kapan Papua Merdeka? Akan terus demikian atau dengan kata lain Papua terus dijajah oleh bangsa asing. Demikian jugakah arus utama pemikiran orang Papua hari ini? Jawabannya ya, demikian, terbukti kita tidak pernah sanggup merdeka sebagai implikasinya. Sesuatu harapan berlebih kepada Tuhan, yang telah dijelaskan diatas yaitu dominasi pemikiran teologis secara dangkal kapanpun selamanya Papua Merdeka terus gagal.
Karena itu teori dan pemikiran harus dibebaskan dahulu dan diganti sekarang. Yang membuat Papua dan membebaskan belenggu nasib orang Papua bukan Tuhan tapi orang Papua sendiri. Teori kebergantungan nasib pada Tuhan sudah lama ditolak di Barat kristen dan ini terbukti di Barat maju bahkan kemajuan Eropa, dalam usahanya membebaskan diri dari dominasi otoritas Tuhan (baca, Gereja) telah melahirkan apa yang dinamakan Aufklaruung, englaitment, sebagai akibat gerakan renainsance, dan hasilnya sekarang Barat maju dan unggul dalam peradaban.
Jika pejuang Papua sekarang terus mau mempertahankan konsep perjuangan tanpa elaborasi pemikiran kritis sebagai anti thesis dari penjajahan tanpa usaha mencari sintesa yaitu menolak teori doktrin otoritas Tuhan. Hasilnya dibuktikan oleh PDP sendiri sebelumnya, kekayaan alam dicuri didepan mata, kolonialisme, kapitalisme, pencurian dan perampokan, pembunuhan secara sistematis HIV/AID, terus berlangsung PDP terus mengkhotbahkan, “Papua Zona Damai”. Dominasi paradigma berfikir HW, jika mau dibiarkan dianut rakyat Papua Barat, tanpa ada usaha perjuangan sendiri, tentu saja Papua Merdeka hanya utopia. Sebaliknya membuang jauh-jauh pemikiran messianisme yang membelenggu kebebasan manusia Papua, dengan pemikiran inovatif, kreatif dan gerakan sistematis terorganisasi, tentu hasilnya akan berbeda.
Atau apakah kita membiarkan Tanah Air kita dibebaskan oleh Tuhan, kita hanya menunggu saja keadilan itu, sehingga semua SDA dijarah habis dan manusianya punah menjadi sama Aborigin dan Indian? Tuhan dan do’a tidak lain, tidak lebih, hanya harapan ketidak pastian, menggantungkan nasib sepenuhnya kepada Tuhan? Hal demikian masih juga terkungkung alam pikiran kaum revolusioner pembebas Papua? Bagaimana rakyat seluruh Papua dapat berharap bebas dari penistaan dan penghinaan oleh penjajah yang secara telanjang dipertontonkan didepan mata mau diakhiri? Terserah Para Pejuang Muda Papua.
*** ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar