Dalam artikel di websitus Komunitas Papua, Saudara “Ismail Asso” (alias?), mendramasitir sedemikian rupa sehingga Islam dan Muslim seakan begitu berbeda. Tulisan ini mencoba menelusuri kebenaran dan menguji argumentasi artikel dimaksud dengan asumsi bahwa kebenaran argumentasi manusia selamanya bersifat subyektif. Tuduhan dari aspek Iman secara ilmiah betapapun memenuhi kualifikasi akademis akhirnya juga pragmatisme karena potensial biased of interest communalistic, maka dengan sendirinya absurd belaka.
Relativitas Persepsi Manusia
Secara filosofis, para ahli ilmu sosial sepakat, bahwa 'agama memiliki nilai kebenaran bersifat universal dan tidak dibatasi oleh sekat-sekat primordialisme.' Misalnya; Batas teritorial, geogerafis, bahasa, dan antropologis, (ras atau suku bangsa). Oleh sebab itu agama apapun dan dimanapun, kita manusia, siapapun (baca, tanpa dimensi lokalitas relatif), dapat menerima akan kebenaran ajaran agama, agama apapun. Hal demikian tidak terkecuali di Papua dewasa ini.
Namun pada tataran aktualisasi, dalam dimensi sosial dan budaya kontemporer, kontekstualisasinya menjadi berbeda sesuai dengan rumusan filsafat; yang mempengaruhinya yaitu oleh faktor relatifitas katogoris berdasarkan asumsi-asumsi yang mendasarinya atau dengan ungkapan lain, nilai lokalitas manusia dipengaruhi oleh dimensi waktu dan tempat, sehingga berimplikasi multi re-interpretasi yang saling berbeda pula. Maka konsekukensi konsepsi demikian konklusinya jelas bahwa: Para penganut (umat) yang taat mengimani nilai dogma (kepercayaan) yang diajarkan dan dibawakan oleh semua agama (apapun), dengan pola hidup dan pola ketaatan tertentu sesuai ritualisme iman (dogma) agama, yang dianutnya itu seperti konsep ajaran yang sudah ditetapkan cara-caranya, dari para pembawa ajaran, sebagai disebut Nabi atau Rasul.
Umumnya Agama mengandung nilai-nilai dogma yang bersifat transendental yakni "konsepsi manusia yang terus melampaui keluar jauh dari existensinya dari dekat disini menuju yang jauh sana", dan memiliki konsep eskatologi, yaitu suatu pemahaman yang mengajarkan akan kejelasan makna hidup alam dunia yang fana ini dan kelak sesudah kematian dialam akherat nanti. Konsepsi demikian umumnya dimiliki dan diwakili oleh agama semitisme yaitu Yahudi, Kristen dan Islam yang biasa dikonstantir oleh para ahli seperti Max Weber (Ahli Filsafat dan Sosiologi Agama dari Jerman), sebagai: Abramic religion, karena tiga agama besar dunia ini bersumber dari Nabi Ibrahim AS, (Abraham), -ini berarti umumnya agama anutan bangsa kita, Papua Barat saat ini.
Inklusivisme Beragama
Konsekuensi agama yang demikian penting, menjadi kesadaran kita, untuk tetap menjaga kontinuitas inklusivisme sikap beragama yang bersumberkan pada satu nenek moyang, ( atau monotheisme). Kebersatuan nenek moyang asal agama pada masa kekinian dan disini (baca, kontemporer). Serta tetap dan terus menimalisir potensi-potensi perbedaan dengan mengedepankan sikap toleransi yaitu sebagai sikap keberagamaan inclusif (terbuka). Dan untuk kita Papua dengan landasan atau paradigma inclusifisme (keterbukaan sikap beragama) ini dapat terakomodasi dalam lembaga, "Dewan Masyarakat Adat Papua (DMAP), Majelis Rakyat Papua (MRP)", sebagai lembaga "reinkarnasi" atau pengejawantahan kurtural rakyat Papua pada masa lalu, kini dan akan datang menjadi kebutuhan primer.
MRP atau Lembaga Adat sebagai mediator, fasilitator, stabilisator dan dinamisator tetap menjaga existensi dinamika atau pluralisme nilai religiusitas rakyat maupun aspek sosiokultural yang kita miliki kini. Dan perannya sejak dulu sebelum agama-agama besar dunia datang masuk ke Papua, harapannya, tetap mengawal agar jangan sampai ada sikap-sikap keberagamaan yang ekslusif (tertutup), yang berorientasi intolerans pada kelompak kepercayaan agama lain di luar anutan kita. Agar harmonisasi hubungan antar pemeluk umat beragama tetap terjalin komunikasi yang dimanis dan mencair tapi juga intens, dalam naungan Papua yang kita cintai bersama.
Mengingat banyak bukti bahwa para peninjau asing sebagaimana di laporkan oleh banyak pihak bahwa agama bagi orang Papua adalah hanya sebatas sarana untuk mereka mencapai tujuan yang lain. Kalau begitu dampaknya jelas destruktif dan ini berarti konflik horisontal tidak dapat terhindari lagi jika dibiarkan, apalagi tingkat pendidikan masyarakat Papua yang umumnya terbelakang akibat penjajahan yang tanpa disadari terus menerus. Upaya bodohisasi penjajah dan para kolonial lain telah melahirkan akibat lain juga. Upaya bodohisasi (atau, pembodohan) terus berlangsung telah lama –secara sistematis sampai akhir-akhir ini, (tahun 1999 di berlakukan UU OTSUS) --sejak daerah ini di infasi oleh Soekarno tahun 1963 silam, ditambah relativitas kemampuan manusia sangat potensial berbeda sesuai relativitas tempat dan waktu.
Teologi Pembebasan
Suatu doktrin, apapun doktrin itu, sesuai eksistensi hidup manusia didunia dan kebutuhan akan kelansungan hidup manusia sebagai makhluk sosial tidak selalu dan selamanya dapat sejalan, kecuali sesuai dengan kapasitas dan kualitas interpretasi pemahamannya, yang relatif dan mutlak manusiawi untuk berbeda (baca, mispersepsion yang berdampak pada misunderstanding). Itu berarti, hanya sebatas kebutuhan akan rasa kenyamanan dan keamanan, bagi survival entitasnya, maka dengan sendirinya kita terjebak pada pragmatisme.
Reintrepretasi teks-teks suci, (kitab), oleh manusia berdampak relativitas pemahaman agama yang cenderung pragmatis tapi juga fragmentaris sesuai dengan, potensi, kubutuhan dan kemampuan akan survival eksistensinya dalam komunitas plural. Karena itu agama sesungguhnya adalah juga potensi membebaskan manusia dari keterpurukan akan diskriminasi dalam hegemoni mayoritas umat beragama. Karena itu harus difahami, agama oleh manusia dalam implementasinya disesuaikan kebutuhan akan kelangsungan hidupnya yang dibatasi oleh lokalitas tempat dan lokalitas waktu belaka dimana dia berada. Maka disini perbedaaan interpretasi subyektifisme sulit dihindari dari dogma agama dan adalah natural belaka.
Disini manipulasi ajaran agama oleh umat manusia dimanapun dan kapanpun potensial dapat terjadi, walau betapapun diyakininya sebagai yang benar, tetapi pengamatan dari "luar" dari agama lain dia dapat terlihat kontras akan kelemahan (atau kesalahan) ini apalagi perspektif kebenaran universal. Karena itu rumusan bahwa manusia tidak ada yang benar kecuali kebenaran itu sendiri. Maka kita wajib dan harus menghayati nilai bahwa kebenaran yang kita yakini sebagai yang benar itu tidak boleh menghalangi orang lain juga benar.
Maka ini berarti kita tidak boleh harus kemudian bersikap skeptis terhadap sesuatu yang bernilai dogma itu. Tetapi yang benar adalah kita membangun suatu rumusan filosofis atas potensi kebenaran orang lain berdasarkan potsulasi atau asumsi-asumsi, sehingga memberikan kesempatan kepada orang lain ragu atas kebenaran subyektif lain. Atheisme Arbert Camus, berangkat dari skeptisme yang melihat umat manusia saling membunuh atas nama kebenara (truth cliem), maka terkenal ucapannya yang akhirnya ia sendiri bunuh diri yaitu; "Yang lalu tidak lagi ada, yang akan datang belum lagi ada, kinipun tidaklah memuaskan".
Agama manusia betapapun kepalsuannya dari pandangan subyektif lain, spritualitas adalah penting karena menjajikan harapan hidup. Tanpa ini adalah suatu nihilisme kebenaran yang berdampak skeptisme terus menerus yang berakibat vatalisme. Namun bukan Vatalisme yang terjebak pada mesianisme yang tanpa ujung pangkal yang berarti juga bertentangan dengan pendirian filsafat Friedrich Nietzsche yakni terciptanya mentalitas budak.
Sikap humanisme yang atheistik bukan harapan kita, namun inklusifime yang liberal dengan menyadari pluralitas masyarakat sebagai hukum sosial yang dapat menjembatani kita berbeda pendapat dan berbeda menerjemahkan agama sesuai lokalitas tempat perkembangan situasi sosial yang melingkupinya. Adalah suatu keniscayaan sesuai dengan dogma agama Islam yang mengajarkan bahwa Sang pemilik hakekat dari alam raya adalah Tuhan semesta alam, artinya manusia pada hakekatnya hidup didunia ini sifatnya hanya sementara untuk mengabdi sang pemilik kehidupana abadi yakni: Tuhan yang Maha Esa.
Maka tidak heran pula ritualitas para sufi dikalangan Muslim dahulu seperti Al-Hallaj, Abu Yazid Al-Busthomi, Rabiahtul Al-Adawiyyah, Imam Ghozali, Syekh Jalaluddin Arrumi, Asyibli dan syekh Abdul Qodir Al-Jilani dll. Adalah para ulama yang atas re-intrepretasi atas ayat Al-Qur'an dan Al-Hadits atau Sunnah Rosul yang mencoba menghindari kehidupan mewah para Sultan (Raja) zaman ke-emasan Islam abad tengah di masa lalu terlepas dari bentuk protes sosial mereka menunjukkan hal ini. Bahkan Al-Hallaj, Sang Martir sufi, mati ditiang gantungan atas prinsipnya itu sebagai Yesus Muslim.
Bagi mereka kehidupan dunia ini adalah tempat persinggahan sementara, dan karena itu kehidupan dunia ini adalah ibarat terminal atau stasiun untuk menuju kehidupan abadi yakni bersatu dengan "Sang Kekasih Abadi", Tuhan. Nampaknya praktek ritualisme para ulama Islam ini secara konseptual banyak terinspirasi atau lebih tepat konversi dari ajaran-ajaran Kristen-Yesus Kristus. Terlepas hasil rekayasa ritualisme para rahib kristen abad tengah di Eropa, sebagaimana tuduhan para ahli Syari'ah Islam, namun ini terbukti, setidaknya banyak persamaan antara kedua praktek ibadah demikian.
Oleh sebab itu sebahagian para rahib dari kalangan agama Katolik yang memilih hidup asketisme dengan cara hidup tertentu seperti tidak kawin umumnya para uskup dan suster. Praktek ini adalah ajaran asketisme yang menjauhkan kehidupan mewah yang materialistik, dan ini adalah praktek spritualisme yang integral dalam institusi kerahiban Katolik dewasa ini. Praktek ini bagian dari penyembahan dan pengabdian total pada Sang Kholik (baca, Tuhan), sebagai rasa ketaatan manusia mendekatkan diri pada Tuhan dengan menjalankan doktrin ini. Namun pada akhirnya reformasi total atas intrepretasi teks Kitab suci (baca, Alkitab), baru dilakukan di Jerman oleh Marthen Luther yang umum kita kenal sekarang menjadi agama Kristen Protestan.
*** ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar